Saturday, November 20, 2010

PESAN SULTAN ATJEH

Udep merde’ka, mate syahid;
langet sihet awan peutimang,
bumoé’reunggang ujeuen peurata,
salah narit peudeueng peuteupat,
salah seunambat teupuro dumna
(Sultan Mahmud Syah (1870-April 1874).

Itulah memori 26 Maret 1873 – 26 Maret 2010 adalah titah Sultan Mahmud Syah masih digunakan sebagai spirit perang menentang penjajah Belanda. Beberapa pesan inti dari pesan Sultan ini merupakan modal utama untuk peutimang nanggroe. Sekarang, pesan Sultan ini sudah tidak begitu diamalkan oleh rakyat Aceh. Mereka malah membalik pesan ini menjadi: udep merdeka, asai na beulanja. But ta peulaku lage jen ek u awan.

Pesan itu penting kita ingat lagi mengingat, beberapa hari lagi kita akan mengingat kembali hari penyerangan Belanda ke Aceh. Menurut sejarah, ultimatum perang Aceh Belanda yang diproklamasikan oleh Gubernur Hindia Belanda Komisaris Nieuwenhuijzen pada tanggal 26 Maret 1873 terhadap kerajaan Aceh Darusssalam yang dipimpin oleh Sultan Alaidin Mahmud Syah (1870 – 1874).

Setelah negosiasi gagal antara Sidi Tahir utusan Nieuwenhuijzen dengan Sultan Aceh Alaidin Mahmud Syah agar Aceh menyerah kepada Belanda pada 24 Maret 1873. Namun Sultan bersikap, daripada menggadaikan tanah airnya, maka Sultan bertitah kepada seluruh rakyat untuk bersiap berperang melawan Belanda.

Friday, November 12, 2010

TEUKU UMAR



Tanggal 11 Februari 1899 atau 109 tahun lalu, bertepatan bulan Ramadhan, Teuku Umar tersungkur jatuh dihantam peluru Belanda di Suak Ujong Kalak, Meulaboh, saat para pejuang sedang menunaikan sahur, beliau langsung roboh dan syahid dalam usia yang sangat produktif yaitu 45 tahun, seluruh pasukan kacau balau, sebuah takdir dan ketetapan Allah berlaku. Menurut beberapa sumber kematian tersebut disebabkan peluru yang bersarang di dada sebelah kiri dan juga di usus besar.

Jenazah Ampon Meulaboh dibawa lari, ada versi mengatakan pelarian melalui Pocut Lueng, Suak Raya tepatnya di dusun —kemudian diberi nama Dusun Kubah Pahlawan, terus dilarikan ke Rantau Panyang – Pocut Reudep – Pasi Meungat dimana beliau sempat dikuburkan selama 6 bulan disamping sang ibunda dan takut diketahui Belanda kemudian dibongkar lagi dan dibawa ke Gunong Cot Manyang dikuburkan 8 bulan dan terakhir dikebumikan di Meugo (sumber Teuku Tjut Yatim dan Teuku Usman Basyah Asisten I Setdakab Aceh Barat, turunan ketiga dari Teuku Umar).

Di Aceh Barat dan Aceh umumnya, banyak pihak menyakini Teuku Umar langsung syahid di Suak Ujong Kalak dan ini diperkuat oleh penuturan Almarhum Teuku Raja Syahbandar yang ketika masih remaja ikut rombongan Teuku Umar dan kemudian dituturkan kepada Teuku Daud dan HT-Al-Amin Kaan.

Kuburan Teuku Johan Pahlawan mantan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda baru diketahui langsung tanggal 1 Nopember 1917 atau 18 tahun setelah ia mangkat. Seorang pegawai purbakala Belanda atau Oudheidskunddigendienst, J.J.De Vink melihat kuburan Teuku Umar setelah mendapat izin Teuku Chik Ali Akbar (Uleebalang Kaway XVI) dan Teuku Panyang, Ulee Balang Meugo, dengan syarat kuburan tersebut tidak diganggu lagi. Begitu lama rakyat Aceh melindungi dan menjaga kuburannya untuk memberikan ketidak-kepastian tentang syahid panglima besar ini serta menjaga stamina pejuang lainnya. Sebaliknya Belanda terpaksa patroli dan kesiagaan yang terus menerus sampai memperoleh kepastian tentang syahidnya Teuku Umar (Perang Kolonial Belanda di Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh). Dilahirkan 1854 (tanggal dan bulan tidak diketahui) di Meulaboh, tepatnya di Gampong Mesjid, sekarang Gampong Belakang, Kecamatan Johan Pahlawan atau sekitar 100 meter dari Mesjid Nurul Huda sekarang, ia lahir dari seorang ayah yang bernama Teuku Cut Mahmud (kuburan di sekitar Keutapang Wangi Gampong Belakang) dan ibu Cut Meuhani (makam di Pasi Mesjid).

Sunday, November 7, 2010

CUT NYAK DHIEN

Cut Nyak Dhien (Lampadang, 1848 – 6 November 1908, Sumedang, Jawa Barat; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa [Perang Aceh]. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.


Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880 yang menyebabkan meningkatnya moral pasukan perlawanan Aceh. Nantinya mereka memiliki anak yang bernama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda, namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dhien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh, disana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh, namun, ia menambah semangat perlawanan rakyat Aceh serta masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap, sehingga ia dipindah ke Sumedang, dan ia meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.

CUT NYAK MUTIA


Cut Nyak Meutia (Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870 - Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910) adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Aceh. Dalam perjalanan kehidupannya Cut Nyak Meutia bukan saja menjadi mutiara keluarga dan Desa Pirak, melainkan ia telah menjadi mutiara yang tetap kemilau bagi nusantara.

Perjuangan melawan Belanda dimulai ketika Cut Meutia menikah dengan Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Di Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Chik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Chik Di Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nanggroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.

Cut Meutia kemudian menikah dengan Pang Nanggroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Cut Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.

TEUNGKUE FAKINAH

Riwayat Keturunan

Teungku Fakinah dengan nama singkatnya disebut dengan Teungku Faki adalah seorang wanita yang menjadi ulama besar, pahlawan perang yang ternama dan pembangunan pendidikan ulung. Beliau dilahirkan sekitar tahun 1856 M, di Desa Lam Diran kampung Lam Beunot (Lam Krak). Dalam tubuh Beliau mengalir darah ulama dan darah penguasa/bangsawan. Ayahnya bernama Datuk Mahmud seorang pejabat pemerintahan dalam zaman Sultan Alaidin Iskandar Syah. Sedangkan ibunya bernama Teungku Muhammad Sa'at yang terkenal dengan Teungku Chik Lam Pucok, pendiri Dayah Lam Pucok, tempatnya pernah Teungku Chik Ditiro Muhammad Saman belajar.

Sesudah Teungku Fakinah dewasa, dalam tahun 1872 dikawinkan dengan Teungku Ahmad dari Aneuk Glee oleh orang kampung Lam Beunot. Teungku Ahmad yang dipanggil Teungku Aneuk Glee ini membuka satu Dayah/perguruan (pesantren) yang dibiayai oleh mertuanya Teungku Muhammad Sa’at atas dukungan orang Lam Beunot dan Imuem Lam Krak. Pesantren ini banyak dikunjungi oleh pemuda dan pemudi dari tempat lain disekitar Aceh Besar, bahkan ada juga yang datang dari Pidie.

Tatkala menentang serangan I Belanda, Teungku Imam Lam Krak serta Tengku Ahmad/Teungku Aneuk Glee tarot dalam pasukan VII Mukim baet mempertahankan Pantai Cermin tepi laut Ulee Lheu yang di komandokan oleh Panglima Polem Nyak Banta dan Rama Setia. Dalam pertahanan perang itu pada tanggal 8 April 1873 tewaslah Panglima perang besar Rama Setia, Imeum Lam Krak, Tengku Ahmad Anuek Glee suami dari Tengku Fakinah dalam membela Tanah Air.

Thursday, November 4, 2010

SEJARAH ETNIK ACEH



Dari Aceh Pedia


Pada waktu masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar, yang di dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk, yaitu salah satu kabupaten atau daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam. Semasa masih sebagai kerajaan, Aceh Rayeuk (Aceh Besar) merupakan inti Kerajaan Aceh (Aceh proper) dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke daerah-daerah lain di sekitarnya (daerah takluk) yang oleh Belanda dinamakan Onderhorigheden. Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh. Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur, dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh. Sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang.

Selain sebagai nama daerah, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam. Di Provinsi Nanggroe Aceh Drussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi).

Hingga saat ini belum ada satu kepastian konkret mengenai asal muasal dan kapan istilah Aceh mulai digunakan karena data yang dapat memberi kesimpulan tentang asal muasal etnis Aceh tersebut tidak ditemukan. Infromasi atau sumber yang berasal dari orang Aceh sendiri tentang hal ini masih berupa kisah-kisah popular yang disampaikan secara turun-temurun (berupa tradisi lisan) yang sulit untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi Aceh sewaktu masih sebagai sebuah kerajaan menyebutkan dengan nama beragam. Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh, orang Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh). Memang terdapat beberapa sumber yang menginformasikan tentang asal muasal nama Aceh dan etnis Aceh, namun sumber-sumber tersebut bersifat mistis atau dongeng, meskipun ada juga yang dikutip oleh para penulis asing seperti penulis-penulis Belanda.