Monday, January 16, 2012

Acheh Dalam Sejarah “Perang Dengan Belanda”

Acheh, yang sejak tahun 1500, sudah berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam sejarahnya yang panjang itu, Acheh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya sebagai pembina peradaban bangsa-bangsa di kawasan Dunia Melayu; pola dan sistem pendidikan militer yang mampu memompa semangat heroisme dan patriotisme tidak terkecuali kaum wanitanya; komitmennya dalam menentang setiap bentuk dan kaedah kolonialisme-imperialisme, kapitalisme; sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik; mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan tentang ilmu duniawi dan ukhrawi; kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain, hingga kemudian disadari oleh ahli sejarah dunia bahwa apa yang telah diperankan oleh bangsa Acheh dapat diteladani oleh bangsa dan negara manapun di dunia ini.

Memang benar, sejak tahun 1411, Acheh telah membina hubungan dagang dengan negeri Cina semasa dynasti Ming. Untuk melihat adanya bukti kukuh mengenai hubungan kedua negara, dapat disaksikan lonceng “TJAKRA DONYA” sebagai cenderamata dari Cina, yang kini ditempatkan depan pintu gerbang museum di Bandar Acheh.

Sebelum terjadi hubungan diplomatik antara Cina dengan Acheh, pernah terjadi peperangan antara kedua negara. Pada waktu itu pasukan tentara Laut Cina dipimpin oleh seorang Wanita muda bernama Nio Nian Lingké, atau yang lebih dikenali sebagai Putroe Nèng. Nio Nian Lingkè, yang juga dikenal sebagai seorang ahli sihir ini pada awalnya berhasil menguasai beberapa Mukim di Acheh, akan tetapi kemudian pasukannya dikalahkan oleh tentara Acheh yang dipimpin oleh panglima perang Johansyah. Difahamkan bahwa Putroe Néng ini akhimya masuk Islam dan menikah dengan Johansyah. Peristiwa ini berlaku pada tahun 1400-an.

Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh ; Said Abdullah Di Meulek

Wazir Rama Setia atau Sekretaris Kerajaan merupakan jabatan sangat penting dalam Kerjaan Aceh. Ia yang mengatur administrasi kerajaan. Jabatan itu terakhir dipegang oleh Said Abdullah Di Meulek


(Said Abdullah Di Meulek)

Sebagai sekretaris kerajaan, Said Abdullah Di Meulek bertugas menulis dan menyimpan surat-surat penting (sarakata) yang dikeluarkan oleh raja. Sarakata-sarakata tersebut diantaranya seperti sumpah dan khutbah kerajaan dalam menghadapi ancaman penyerangan Belanda. Para ulama, uleebalang dan seluruh rakyat Aceh diserukan untuk berjihat melawan agresi tersebut.

Sebelum Belanda menyerang Kerajaan Aceh, terjadi beberapa kali surat menyurat yang meminta agar Kerajaan Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas Aceh. Namun permintaan itu ditolak dengan halus melalui surat-surat balasan dari Sultan Aceh, Sultan Alaiddin Mahmud Syah. Surat-surat itu semuanya ditulis atas instruksi sulthan kepada Said Abdullah Di Meulek.

“Kampung Bideun”, Pusat Prostitusi Masa Kerajaan Aceh

Gambar ; Ilustrasi (Kampung Bideun)

Beratus-ratus tahun lalu, kisah Gampong Biduen (Pelacuran) di bibir Pantai Kuala Aceh (Lampulo) Bandar Aceh. Kampung ini menjadi pusat prostitusi pada masa kerajaan Aceh. Namun sebutan ini dapat dihapuskan dengan kelembutan tangan Syeikh Abdurrauf Al Fansuri As-Singkili.

Kisah ini saya peroleh dari tulisan Muhammad Yunus Jamil yang meninggal dunia pada tahun 1978. Sejarawan sederhana ini memang selalu menukilkan sejarah Aceh dari perspektif lokal. Salah satu buku yang terakhir berjudul “Gerak Kebangkitan Aceh”.

Dalam buku itu, Yunus menuturkan bahwa disebelah timur daratan pantai kuala Aceh, dulunya daerah perdagangan dan banyak bangsa asing, dari Eropa, India, Cina, Arab menetap di sana dan disitu tempat loji-loji bangsa asing. Disitu juga ada Kampong Bidook, juga disebut kampung Biduen (kampung pelacuran). Saat itu, selain warga Aceh, banyak orang orang seperti orang Tionghoa serta orang asing (bukan Eropa) yang menetap di sana (Yunus Jamil:1975).