Sunday, October 14, 2012

Delapan Wasiat Iskandar Muda

Aceh pernah dijuluki "Serambi Mekkah", karena masyarakatnya yang religius, yang sangat mengenal nilai-nilai agama. Syariat Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengamalan hidup sehari-hari. Keadaan itu pernah terealisir pada masa Sultan Iskandar Muda berkuasa (1016-1046 H atau 1607-1637 M).

Denys Lombat, seorang sejarawan Perancis melukiskan wajah Aceh pada zaman Iskandar Muda sudah berjalan dengan baik, meliputi tertibnya administrasi keuangan dalam negeri, adanya perundang-undangan dan tata pemerintahan yang teratur, memiliki angkatan bersenjata, memiliki komitmen di bidang politik perdagangan dalam negeri dan antar-negara lain, memiliki hubungan diplomatik dengan negara asing, memiliki mata uang sendiri, memiliki kebudayaan yang bernafaskan Islam, kesenian dan kesusastraan, dan Iskandar Muda sendiri sebagai seorang Sultan yang agung dan sangat berwibawa serta bijaksana.

Era keemasan “zaman Aceh” seperti itu bukanlah dongengan belaka seperti diungkapkan Snouck Hurgronje, “Zaman emas kerajaan Aceh, dalam waktu mana Hukum Islam berlaku atau Adat Meukuta Alam boleh jadi dianggap sebagai landasan peraturan Kerajaan, nyatanya telah menjadi sebuah dongeng” (buku The Achehnese).

Pernyataan Snouck Hurgronje tersebut, telah pula dibantah oleh W.C.Smith, seperti diungkapkan dalam bukunya Islam in Modern History (1959;45). Menurut Smith, kerajaan Aceh Darussalam dalam abad ke XVI merupakan salah satu negara Islam yang memiliki peradaban dan dikenal dunia, setelah Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Isfahan dan Kerajaan Agra di Anak benua India.

Wednesday, August 15, 2012

Menemukan Kembali Jejak Istana Darud Al Dunia




Istana Daruddunia Kerajaan Aceh Darussalam, dalam Imajinasi Lukisan

Sebuah kota mencerminkan value dan tingkat peradaban masyarakat di wilayah tersebut. Tingkat peradaban dalam pembangunan kota antara lain ditentukan oleh penggunaan teknologi dalam perencanaan pembangunan kota tersebut. Membaca dan mendengar kebesaran sejarah Aceh, rasanya sulit menemukan bukti-bukti kebesaran peradaban Aceh masa lalu.

Diskusi tentang peradaban manusia dari primitive, modern, postmodern dan seterusnya menimbulkan pertanyaan besar tentang apa dan siapa sebenarnya Aceh. Apakah kebesaran peradaban Aceh adalah benar adanya? Atau pendahulu negeri itu hanya membesar-besarkan cerita kepahlawanan dan kepemimpinannya tanpa ada bukti? Apa alasan untuk membantah bahwa Aceh baru mengenal modernisasi dan sedang dalam proses meninggalkan budaya primitif? Apa tidak mungkin sebaliknya?

Apa pun jawabannya, istana adalah salah satu simbol peradaban yang akan memberi input terhadap value, ethic dan prinsip yang dipakai dalam pembangunan Aceh pada masa lalu dan sekarang.

Pertanyaan umum yang muncul adalah: Jika Aceh pernah besar, dimana bukti-bukti kebesaran peradaban Aceh di masa lalu? Berbicara tentang kebesaran peradaban pada masa kerajaan, pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah: "Istana dan lingkungan sekitarnya seharusnya merupakan tolok ukur bagaimana perencanaan fisik kota pada masa lalu pernah diterapkan di Aceh. Pertanyaan itu terjawab oleh sebuah foto istana Aceh yang dibuat Belanda dengan detil, sesaat setelah istana direbut oleh pasukan Belanda saat agressi militer ke-2.

Saturday, July 21, 2012

Pada Saat Aceh Masih Sebagai Sebuah Kerajaan

Ilusi Istana "Darul ad-Dunia" Aceh Darussalam 

Pada saat Aceh masih sebagai sebuah kerajaan, lokasi kerajaan ini berada di wilayah Kabupaten Aceh Besar sekarang yang dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk (Aceh Besar). Untuk nama Aceh Rayeuk, ada juga orang yang menyebutnya dengan nama Aceh Lhee Sagoe (Aceh tiga Sagi). Penyebutan ini berhubungan erat dengan situasi daerah itu yang mencakup tiga sagi, yaitu disebut Sago (Sagi) XXV Mukim, Sago (Sagi) XXVI Mukim, dan Sago (Sagi) XXII Mukim.

Selain itu, ada juga yang menyebut dengan istilah Aceh Inti (Aceh proper) [3], yang maksudnya Aceh sebenarnya. Disebut demikian karena Aceh Rayeuk inilah pada mulanya yang menjadi inti Kerajaan Aceh. Dan juga karena disitulah terletak ibukota kerajaannya[4], yang bernama Banda Aceh atau lengkapnya Banda Aceh Darussalam[5], yang oleh orang-orang Aceh lazim disebut pula dengan nama Aceh saja.

  • Tentang Nama dan Perkembangan Kerajaan
Dari nama asalnya Aceh dan kapan istilah ini mulai digunakan merupakan suatu hal yang sulit untuk dipastikan. Orang-orang asing yang pernah datang ke Aceh, menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Orang Arab menyebut Asyi, orang Portugis menyebut Achem atau Achen, orang Belanda menggunakan istilah Acheen atau Achin, orang Prancis mengatakan Achen atau Acheh. Di dalam naskah-naskah Melayu lama seperti kitab Adat Aceh[6], Hikayat Aceh [7], dan kitab Bustanus Salatin [8], serta pada salah satu jenis mata uang dari Kerajaan Aceh yang disebut Keuh [9] (sejenis coin yang terbuat dari timah), menyebutnya nama Aceh sebagaimana yang disebut sendiri oleh orang-orang Aceh.

Thursday, July 19, 2012

Yang Gila Dalam Perang Aceh

Karena stres berat akibat kelelahan perang. Marsose di Blangkejeren saling bunuh membunuh. Perempuan menjadi penyebab lainnya. Pada beberapa brigade, serdadu-serdadu Belanda itu banyak yang mengacuhkan komandannya.

Ketegangan antar serdadu Belanda itu, diulas Zentgraaff dalam buku “Atjeh”. Kepanikan menghadapi pejuang Aceh, membuat para pasukan elit Belanda itu stres berat, ditambah lagi akumulasi persoalan di kalangan istri-istri marsoese dengan marsose yang istrinya tidak sampai ke Blangkejeran.

Zentgraaff menulis, seorang marsoase Ambon hendak membunuh komandan brigadenya, namun seorang marsoase lainnya bertindak tegas menghalanginya. Pada kejadian-kejadian sebelumnya, para marsoase itu rupanya tidak bertindak dengan tegas, walaupun mereka dapat melakukannya harus dapat melakukannya.

“Dimanakah kini gerangan perginya semangat militer yang baik itu, semangat yang terutama bagi pasukan kecil itu, yang paling banyak terdiri dari seorang komandan dengan 18 anak buah bersenjata karaben dan kelewang, di mana setiap orang sangat terikatnya kepada kawan-kawannya?” tanya Zentgraaff.

Tuesday, July 17, 2012

Yang Bernama "Aceh"

Syahdan , Bahwa keturunan bangsa Aceh adalah dari tanah Persia. Seperti kita sering dengar kepanjangan ACEH sebagai Arab, Cina, Eropa, dan Hindia. Namun sampai sekarang jarang para sarjana yang mengangkat kisah seperti ini. Hanya Affan Jamuda dan AB Lila Wangsa yang menulis "Peungajaran Peuturi droe Keudroe (Pelajaran mengenal diri sendiri)" menyebutkan: " Wangsa Acheh saboh wangsa nyang jak meunanggroe rot blah barat pulo Ruja. Wangsa nyan asai phon nibak wangsa Achemenia, Wangsa Achemenia nyang asai jih phon bah binak buket Kaukasus di Europa teungoh. Wangsa Achemenia nyang hudep bak thon 2500 GM (gohlom masehi). Wangsa Achemenia saboh wangsa nyang harok meurantoe, sampoe wangsa nyang meusipreuk bansaboh Asia, Afrika, Europa ngon pulo Ruja. Nyang saboh turonan neuweh u tanoh Persia jeut keuwangsa Parsia, nyang sabih suke neuweh u pulo Ruja, dudoe teuma jeut keu-wangsa Acheh. Wangsa Aceh asai phon nibak wangsa Achemenia-Parsia-Acheh ". Affan Jamuda dan AB. Lila Wangsa, Peungajaran Peuturi droe Keudroe (Pidie: Angkasa Muda, 2000). 

Terjemahannya ; Bangsa Aceh adalah satu bangsa yang membangun negeri di sebelah barat Pulau Ruja. Bangsa ini asalnya dari bangsa Achemenia, bangsa Achemenis berasal dari sebuah bukit Kaukasus di Eropa Tengah. Bangsa Achemenia hidup sekitar 2500 Tahun sebelum Masehi. Bangsa Achemenia satu bangsa yang suka merantau, sampai bangsa ini tersebar di seluruh Asia, Afrika, Eropa dan juga Pulau Ruja. Satu keturunan pindah ke tanah Persia, kemudian menjadi bangsa Persia, yang satu suku lagi pindah ke Pulau Ruja, kemudian lahir bangsa Aceh. Bangsa Aceh pertama sekali berasal dari bangsa Achmenia-Parsia-Aceh).

Sunday, July 1, 2012

Makna 501 Tahun Peringatan Kesultanan Aceh Darussalam

Oleh Dr. Mehmet Ozay

Tiada masyarakat tanpa sejarah. Telah lama ditanyakan sejarah apa yang mendidik kita. Saat ini kita hidup di zaman postmodern yang merupakan fase terakhir dalam filosofi barat. Sebagaimana kerap kali dinyatakan bahwa tahap tersebut adalah tahap di mana segalanya dianggap relatif dan setiap sesuatu mungkin dipercayai. Akibatnya terjadi banyak tekanan, khususnya dalam politik. Dan tanpa dapat dipungkiri, ikut mempengaruhi persepsi kita akan sejarah baik secara langsung maupun tidak.

Berbeda halnya dengan barat, Islam tidak mengulang paradigma-paradigma yang sama seperti barat. Alasan mengangkat topik ini dengan paragraf-paragraf sederhana adalah untuk mengingatkan masyarakat kita tentang makna sejarah. Oleh karena itu, pembaca diharapkan dapat menjawab pertanyaan: sejarah mengajarkan apa pada kita?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tidak ada salahnya jika kita melihat satu contoh kontemporer dari negara jiran. Malaysia hari ini, sebagaimana yang telah disahkan sebagai negara model bagi negara-negara Islam atau negara dunia ke-3, menargetkan pencapaian anugrah negara no. 1 di dunia. Meskipun begitu, pemerintah baru-baru ini mengumumkan untuk memprioritaskan pengajaran sejarah di sekolah-sekolah negeri demi pembangunan kembali sebuah masyarakat sederhana yang ideal, sesuai dengan kebutuhan 3 etnik yang secara sejarah tidak dapat dipisahkan dari negeri tersebut. Lalu, bagaimana halnya dengan Aceh?

Kesultanan Aceh Darussalam Dalam Manuskrip Kuno

Salah satu referensi utama dan otentik dalam mengungkapkan sejarah Kesultanan Aceh Darussalam adalah manuskrip (naskah kuno), di antaranya yang terpenting berjudul Bustanus Salatin fi Zikr al-Awwalin wal Akhirin (Bustanus Salatin), yaitu satu-satunya kitab fenomenal yang disusun pada abad ke-17, tepatnya pada masa Iskandar Muda (1607-1636) dan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641), dan telah mempengaruhi penulisan karya pada abad-abad selanjutnya. Kitab historis sekaligus memiliki nilai sastra ini terdiri 7 bab, dan khusus gambaran tentang Kesultanan Aceh dan geneologi pemimpinnya pada periode tersebut bearada di bab 2 pasal 13.

Pada masa tersebut, kitab inilah paling lengkap menceritakan kisah raja-raja Melayu secara universal, termasuk Kesultanan Aceh Darussalam. Kitab karya ulama non-Aceh Syekh Nuruddin Muhammad ibn Ali ibn Hasanji ibn Muhammad Hamid ar-Raniri, berasal dari Gujarat-India. Jika merujuk kepada kandungan isi naskah maka bisa ditemukan antara bab dan pasal saling bersinambungan dan berkaitan, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kitab ini dikarang secara periodik dan kontinue sebelum dan setelah berada di Aceh.

Berdasarkan rekaman sejarah, kitab Bustan as-Salatin menjadi perintis yang mengupas tentang historikal Kesultanan Aceh yang bersifat teologis sekaligus historis. Disebut teologis sebab mengurai keesaan Tuhan dan segala wujud tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan prosesnya. Sedangkan dikategorikan historis karna merangkup perjalanan Sultan-sultan Aceh. Kitab Bustan as-Salatin karya Nuruddin ar-Raniri terilhami dari kitab karya ulama sebelumnya, Bukhari al-Jauhari berjudul Taj as-Salatin. Jika ditinjau dari beberapa sisi ada persamaan, namun juga terdapat banyak perbedaannya, sebab kitab Taj as-Salatin disusun lebih berat pada titik religious cultures yang ditujukan kepada raja-raja Iran (Parsi), yaitu tidak lain merupakan ilustrasi untuk konsepsi etika dalam membentuk harmoni peradaban manusia dan alam ini.

Monday, January 16, 2012

Acheh Dalam Sejarah “Perang Dengan Belanda”

Acheh, yang sejak tahun 1500, sudah berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam sejarahnya yang panjang itu, Acheh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya sebagai pembina peradaban bangsa-bangsa di kawasan Dunia Melayu; pola dan sistem pendidikan militer yang mampu memompa semangat heroisme dan patriotisme tidak terkecuali kaum wanitanya; komitmennya dalam menentang setiap bentuk dan kaedah kolonialisme-imperialisme, kapitalisme; sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik; mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan tentang ilmu duniawi dan ukhrawi; kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain, hingga kemudian disadari oleh ahli sejarah dunia bahwa apa yang telah diperankan oleh bangsa Acheh dapat diteladani oleh bangsa dan negara manapun di dunia ini.

Memang benar, sejak tahun 1411, Acheh telah membina hubungan dagang dengan negeri Cina semasa dynasti Ming. Untuk melihat adanya bukti kukuh mengenai hubungan kedua negara, dapat disaksikan lonceng “TJAKRA DONYA” sebagai cenderamata dari Cina, yang kini ditempatkan depan pintu gerbang museum di Bandar Acheh.

Sebelum terjadi hubungan diplomatik antara Cina dengan Acheh, pernah terjadi peperangan antara kedua negara. Pada waktu itu pasukan tentara Laut Cina dipimpin oleh seorang Wanita muda bernama Nio Nian Lingké, atau yang lebih dikenali sebagai Putroe Nèng. Nio Nian Lingkè, yang juga dikenal sebagai seorang ahli sihir ini pada awalnya berhasil menguasai beberapa Mukim di Acheh, akan tetapi kemudian pasukannya dikalahkan oleh tentara Acheh yang dipimpin oleh panglima perang Johansyah. Difahamkan bahwa Putroe Néng ini akhimya masuk Islam dan menikah dengan Johansyah. Peristiwa ini berlaku pada tahun 1400-an.

Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh ; Said Abdullah Di Meulek

Wazir Rama Setia atau Sekretaris Kerajaan merupakan jabatan sangat penting dalam Kerjaan Aceh. Ia yang mengatur administrasi kerajaan. Jabatan itu terakhir dipegang oleh Said Abdullah Di Meulek


(Said Abdullah Di Meulek)

Sebagai sekretaris kerajaan, Said Abdullah Di Meulek bertugas menulis dan menyimpan surat-surat penting (sarakata) yang dikeluarkan oleh raja. Sarakata-sarakata tersebut diantaranya seperti sumpah dan khutbah kerajaan dalam menghadapi ancaman penyerangan Belanda. Para ulama, uleebalang dan seluruh rakyat Aceh diserukan untuk berjihat melawan agresi tersebut.

Sebelum Belanda menyerang Kerajaan Aceh, terjadi beberapa kali surat menyurat yang meminta agar Kerajaan Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas Aceh. Namun permintaan itu ditolak dengan halus melalui surat-surat balasan dari Sultan Aceh, Sultan Alaiddin Mahmud Syah. Surat-surat itu semuanya ditulis atas instruksi sulthan kepada Said Abdullah Di Meulek.

“Kampung Bideun”, Pusat Prostitusi Masa Kerajaan Aceh

Gambar ; Ilustrasi (Kampung Bideun)

Beratus-ratus tahun lalu, kisah Gampong Biduen (Pelacuran) di bibir Pantai Kuala Aceh (Lampulo) Bandar Aceh. Kampung ini menjadi pusat prostitusi pada masa kerajaan Aceh. Namun sebutan ini dapat dihapuskan dengan kelembutan tangan Syeikh Abdurrauf Al Fansuri As-Singkili.

Kisah ini saya peroleh dari tulisan Muhammad Yunus Jamil yang meninggal dunia pada tahun 1978. Sejarawan sederhana ini memang selalu menukilkan sejarah Aceh dari perspektif lokal. Salah satu buku yang terakhir berjudul “Gerak Kebangkitan Aceh”.

Dalam buku itu, Yunus menuturkan bahwa disebelah timur daratan pantai kuala Aceh, dulunya daerah perdagangan dan banyak bangsa asing, dari Eropa, India, Cina, Arab menetap di sana dan disitu tempat loji-loji bangsa asing. Disitu juga ada Kampong Bidook, juga disebut kampung Biduen (kampung pelacuran). Saat itu, selain warga Aceh, banyak orang orang seperti orang Tionghoa serta orang asing (bukan Eropa) yang menetap di sana (Yunus Jamil:1975).