Udep merde’ka, mate syahid;
langet sihet awan peutimang,
bumoé’reunggang ujeuen peurata,
salah narit peudeueng peuteupat,
salah seunambat teupuro dumna
(Sultan Mahmud Syah (1870-April 1874).
Itulah memori 26 Maret 1873 – 26 Maret 2010 adalah titah Sultan Mahmud Syah masih digunakan sebagai spirit perang menentang penjajah Belanda. Beberapa pesan inti dari pesan Sultan ini merupakan modal utama untuk peutimang nanggroe. Sekarang, pesan Sultan ini sudah tidak begitu diamalkan oleh rakyat Aceh. Mereka malah membalik pesan ini menjadi: udep merdeka, asai na beulanja. But ta peulaku lage jen ek u awan.
Pesan itu penting kita ingat lagi mengingat, beberapa hari lagi kita akan mengingat kembali hari penyerangan Belanda ke Aceh. Menurut sejarah, ultimatum perang Aceh Belanda yang diproklamasikan oleh Gubernur Hindia Belanda Komisaris Nieuwenhuijzen pada tanggal 26 Maret 1873 terhadap kerajaan Aceh Darusssalam yang dipimpin oleh Sultan Alaidin Mahmud Syah (1870 – 1874).
Setelah negosiasi gagal antara Sidi Tahir utusan Nieuwenhuijzen dengan Sultan Aceh Alaidin Mahmud Syah agar Aceh menyerah kepada Belanda pada 24 Maret 1873. Namun Sultan bersikap, daripada menggadaikan tanah airnya, maka Sultan bertitah kepada seluruh rakyat untuk bersiap berperang melawan Belanda.