Thursday, January 24, 2013

Panglima Uteun

Tradisi pengelolaan hutan yang arif bijaksana telah dipraktekkan secara turun temurun dalam masyarakat Aceh. Hal ini diselenggarakan melalui lembaga adat uteun yang dipimpin oleh Panglima Uteun. Panglima Uteun merupakan unsur pemerintahan mukim yang bertanggungjawab kepada Imum Mukim. Khazanah adat budaya ini masih melekat dalam kehidupan sebagian masyarakat Aceh sebagai sebuah kearifan lokal yang masih ada terutama pada kemukiman yang wilayahnya berdekatan dengan kawasan hutan.

Dalam literatur lama diterangkan bahwa beberapa fungsi utama yang harus dilakukan oleh Panglima Uteun adalah:

Pertama, menyelenggarakan adat glee. Panglima uteun merupakan pihak yang memiliki otoritas menegakkan norma-norma adat yang berkaitan dengan bagaimana etika memasuki dan mengelola hutan adat (meuglee). Pangima Uteun atauPawang Glee (bawahan Panglima Uteun atau Kejruen Glee) memberi nasihat dalam mengelola dan memanfaatkan hutan. Nasehat tersebut berisikan tatanan normatif apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kaitannya dengan pengurusan hutan adat. Selain itu, disampaikan pula petunjuk perjalanan dalam hutan sehingga jangan sampai orang tersesat, atau mendapat gangguan dari jin dan binatang-binatang buas lainnya.

Kedua, mengawasi dan menerapkan larangan adat glee. Dalam pengurusan hutan dilarang memotong pohon tualang, kemuning, keutapang, glumpang, beringin dan kayu-kayu besar lainnya dalam rimba yang dianggap sebagai tempat bersarang lebah. Ini merupakan pantangan umum, yang apabila dilanggar dapat merugikan orang banyak, karena siapa saja boleh mengambil madu yang bersarang di pohon-pohon besar itu. Dilarang memotong kayu-kayu meudang ara, bunga merbau, dan kayu-kayu besar lain yang bisa dijadikan perahu atau tongkang, kecuali atas seizin dari kejruen atau raja.

Tanda larangan lain yaitu dilarang memotong sebatang kayu dalam rimba yang sudah ditetak sedikit kulitnya dan di atasnya dililit akar kayu yang disangkut dengan daun-daun. Demikian juga, dilarang orang mengambil kayu yang sudah ditumpuk-tumpuk oleh seseorang yang di atasnya diletakkan sebuah batu. Batu itu berarti sebagai suatu tanda bahwa kayu yang bertumpuk itu telah ada yang punya. Panglima uteun memiliki kompetensi melakukan pengawasan penerapan larangan adat glee, agar semua larangan tersebut dilaksanakan oleh setiap orang.

Ketiga, panglima uteun berfungsi sebagai pemungut wasee glee. Wasee glee adalah segala hasil hutan seperti cula badak, air madu, lebah, gading gadjah, getah rambung (perca), sarang burung, rotan, kayu-kayuan bukan untuk rumah sendiri atu untuk dijual, damar, dan sebagainya. Besarnya wasee (cukai) adalah 10 % untuk raja.

Keempat, panglima berfungsi sebagai hakim dalam menyelesaikan setiap perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee. Dalam suatu perundingan, panglima uteun atau kejruen glee terlebih dahulu meminta dan mendengar semua keterangan dari para pawang glee, kemudian setelah itu kejruen glee memberi hukum atau keputusan.

Berdasarkan fungsi di atas dapat dipahami bahwa fungsi panglima uteun dalam masyarakat Aceh sangat strategis dalam hal pengelolaan lingkungan khususnya dalam hal pemanfaatan hutan dan hasilnya. Selanjutnya, dalam mengelola hutan adat untuk dijadikan ladang atau kebun (meuglee), sistem pengelolaannya berkaitan erat dengan adat seuneubok. Seuneubok adalah suatu wilayah baru di luar gampong (desa), yang pada mulanya berupa hutan adat yang dikemudian dijadikan kebun (ladang).

Pembukaan seuneubok harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubok dan lingkungan hidup itu sendiri, terutama bagi perlindungan sumber kawasan air. Artinya dalam pembukaan seuneubok yang akan dijadikan kebun terdapat aturan-aturan yang telah dipahami dan dipraktekkan oleh masyarakat seperti larangan penebangan pohon dalam radius atau jarak tertentu.

Dalam rangka perlindungan sumber kawasan air dan sekaligus pengelolaan lingkungan hutan, terdapat beberapa larangan adat yang harus dipatuhi oleh setiap orang, yaitu:

Pertama, dalam jarak 1200 depa (kira-kira 600 meter) dari sumber mata air --danau, waduk, alue, dan lain-lain-- tidak boleh atau dilarang melakukan aktivitas penebangan pohon. Bahkan untuk kepentingan raja sekalipun tetap tidak boleh. Tetapi menanam pohon sangatlah dianjurkan.

Kedua, jarak 120 depa dari kiri-kanan sungai besar tidak boleh ditebang pohon, tidak boleh dimiliki, karena adalah milik adat yang manfaatnya juga untuk kepentingan bersama. Itu adalah untuk penyangga bencana dari datangnya banjir dan tanah longsor.

Ketiga, 60 depa dari kiri-kanan anak sungai (alue) tidak boleh ditebang pohon, namun menanamnya sangat dianjurkan sebagai milik bersama. Larangan ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian fungsi ekosistem kawasan sungai agar tidak terjadi banjir besar, karena air hujan yang deras diserap ke dalamnya dan terdapat dedaun yang menahan laju derasnya hujan hingga sampai kebawahpun air akan tertahan oleh tumpukan daun-daun yang mengendap jatuh hingga ke permukaan tanah.

Keempat,  tidak boleh ditebang pohon di puncak gunung dan daerah lereng yang terjal. Juga tak boleh ditebang pohon dipinggiran jurang yang jaraknya kira-kira dua kali kedalaman jurang. Larangan ini dimaksudkan agar tidak terjadinya longsor yang dapat merusak lingkungan, dan dapat pula menimbulkan kerugian bagi manusia itu sendiri.

Selanjutnya dalam memilih lahan lokasi pembukaan kebun, menurut adat uteun dan adat seuneubok perlu juga dipertimbangkan posisi letak lahan berdasarkan kemiringan utara-selatannya sesuai dengan siklus edar cahaya matahari. Dalam pemilihan lokasi atau lahan untuk kebun --juga bagi peruntukkan lahan untuk kepentingan lainnya– perlu mempertimbangkan kearifan lokal yang dalam hadih maja dinyatakan dengan "Tanoh siheet ue timue pusaka jeurat, siheet ue barat pusaka papa, siheet ue tunong geulantan, dan siheet ue seulatan pusaka kaya. Yang mengandung arti "Tanah yang miring atau menghadap ke timur adalah pusaka untuk kuburan, miring ke barat pusaka untuk orang papa, miring ke utara tanah yang menang, dan miring ke selatan pusaka kaya. Berarti, menurut kerangka pikir orang Aceh tempo dulu lahan yang baik adalah lahan yang menghadap atau miringnya ke utara atau ke selatan.

Tunong adalah utara. Geulantan berarti kemenangan atau kejayaan. Sehingga, orang yang memiliki lahan dengan arah ke utara diasumsikan para penghuninya akan mendapat "keberkatan". Orang yang diberi berkat adalah orang yang medapat kemenangan dan kebahagiaan. Sedangkan pemilik lahan dengan arah ke selatan adalah "pusaka kaya", yang berarti, bakal menjadi kaya.

Selain tata cara memilih arah lahan, terutamanya untuk lokasi kebun, menurut adat uteun dan adat seuneubok dikenal pula beberapa pantangan yang meliputi:

Pertama, Pantangan Jambo. Artinya, jambo atau pondok (gubuk) untuk berteduh atau bermalam ataupun untuk dijadikan rumah, tidak boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas dan makhluk halus penghuni rimba, dan bahan pondok tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan uroet karena dipercayai akan mengundang ular masuk ke pondok tersebut.

Kedua, Pantangan Darut (hama belalang). Dalam hal ini, para anggota seuneubok (para peladang) pantang menggantung kain pada pohon, meneutak parang pada tunggul pohon, dan menebas semak (ceumecah) dalam hujan. Semua pantangan ini tidak boleh dilanggar, karena kalau dilanggar, dipercaya akan mendatangkan wabah belalang, dimana jutaan belalang akan menyerbu kebun tersebut.

Ketiga, pantangan lainnya adalah dilarang berteriak-teriak sambil memanggil-manggil di ladang karena jika melanggar adat ini dipercaya akan dapat mendatangkan hama tikus, rusa, kijang, monyet, tikus dan landak. Inti dari larang ini adalah larangan ria dan bersenda gurau secara berlebihan.

No comments:

Post a Comment