Sunday, January 17, 2010

Perempuan-perempuan Penjuang Aceh


Ratu Ilah Nur atau Ratu Nurillah Az-Zahir (1380 M)

Di Matangkuli, Kecamatan Minye Tujoh,Aceh Utara, terdapat sebuah makam kuno yang nisannya bertuliskan bahasa Arab dan Jawa Kuno. Di nisan itu, tertoreh nama Ratu Ilah Nur yang meninggal tahun 1365. Siapa Ilah Nur ? Ilah Nur adalah seorang Ratu yang memerintah Kerajaan Pasai, Ratu Nur Ilah merupakan keturunan Sultan Malikuzzahir.

Keterangan itu juga terdapat dalam kitab Negara Kertagama tulisan Mpu Prapanca dan buku Hikayat Raja-Raja Pasai. Tidak banyak keterangan yang didapat oleh peneliti tentang masa pemerintahan Ratu Ilah Nur ini. Perempuan Aceh memang luar biasa. Mereka mampu mensejajarkan diri dengan kaum pria.

Bahkan, dalam peperangan pun, yang biasanya dilakukan kaum pria, diterjuni pula. Mereka menjadi komandan, memimpin ribuan laskar di hutan dan digunung-gunung. Para perempuan Aceh berani meminta cerai dari suaminya – bila suaminya berpaling muka kepada Belanda.

Kaum pria Acehpun bersikap sportif. Mereka dengan lapang hati memberikan sebuah jabatan tertinggi dan menjadi anak buahnya. Diantara mereka menjadi amat dikenal bahkan melegenda, seperti Cut Nayk Dien, Laksamana Kumalahayati, dan sebagainya. Beberapa preode, Kerajaan Aceh Besar yang berdaulat, pernah dipimpin oleh perempuan.

Sisi Romantis Sultan Iskandar Muda

Dalam Hikayat Malem Dagang karya Teungku Chik Pante Geulima, ulama besar Aceh di Meureudu pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (16-07-1636 M) dikisahkan tentang sejarah penyerangan Sultab Iskandar Muda ke Semenanjung Tanah Melayu; Malaysia.

Hikayat ini meriwayatkan kisah perjalanan Iskandar Muda dalam ekspansi tersebut. Bermula dari keberangkatan dari Bandar Aceh ke Asahan lalu ke Johor dan Malaka. Deskripsi perjalanan itu digambarkan dengan apik oleh Tgk Chik Pante Geulima.

Menurut Ali Hasimy dalam buku Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah , terbitan Beuna, Jakarta (1983), hikayat itu mulai ditulis pada hari Senin, 27 Rakjab 1055 Hijriah (1645 M) pada masa Kerajaan Aceh dipimpin Ratu Safiatuddin.

Bait-bait hikayat itu ditulis dengan apik dengan bahasa tamsilan yang dalam. Seperti pada percakapan Raja Raden dengan Raja Siujud:

Siujud bungeh ngon amarah
mata mirah ban aneuk saga
teuma jimariet Raja Siujud
nariet nyang jeuheut lee dibuka

Saturday, January 16, 2010

Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah


Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan?

Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?
Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Cut Nyak Dhien Vs Kartini


Jepara, Jawa Tengah 129 tahun lalu, 21 April 1879. Rumah Bupati Raden Mas Adipati Sastrodininggrat melengking tangisan. R A Kartini dilahirkan. Ia kelak disanjung karena dianggap sebagai pembawa emansipasi wanita.

Lampadang, Aceh Besar 160 tahun lalu (1848), Cut Nyak Dhien dilahirkan. Ia ditakdirkan untuk membawa pesan ketangguhan perempuan di medan perang. Bila Kartini dengan tangan gemulai merangkai kata untuk perubahan, Cut Nyak Dhien lebih memilih pedang untuk mempertahankan jati diri ke-Aceh-annya.

Gemuainya Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang" membuat hari kelahirannya diperingati sampai sekarang. Tangkasnya Cut Nyak Dhien mengayun pedang, menebas Belanda hanya terabadikan dalam sebuah film. Selebihnya hanya pajangan disekolah-sekolah, sebagai petanda kabar bahwa tokoh yang sampai tuanya tak pernah kompromi dengan penjajah Belanda itu masih dianggap sebagai pahlawan.

Tamat sekolah Europese Lagere School (ELS) setingkat sekolah dasar sekarang, Kartini duduk manis dengan kebangsawanannya menunggu pingitan. Sementara Dhien, yang dididik dibalai pengajian, lebih memilih jadi janda ketimbang tunduk pada Belanda.

Tahun 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyoninggrat. Disana Kartini mendirikan Sekolah Kepandaian Putri. Beragam kegiatan pemberdayaan perempuan dilakukan.

29 Juni 1878, Dhien menyandang status janda, setelah Tgk Ibrahim Lamnga, suaminya tewas dalam perang melawan Belanda di Gle Tarum. Dhien maju ke garda depan, menyemangati pasukan megorbankan perlawanan.

Wednesday, January 13, 2010

Slogan Rakyat Aceh Darussalam Dulu


"Udep sare mate syahid" Itulah slogan yang pernah hidup dalam sanubari rakyat yang hidup di Aceh. Sejarah perlawanan terhadap berbagai bentuk penjajahan di daerah yang mendapat julukan "Serambi Makkah" itu adalah sekeping dari cerita perjalanan anak bangsa muslim yang bernama Indonesia. Islam yang menggelora di dada tercermin dari sikap patriotik yang mereka tampilkan. Perlawanan demi perlawanan senantiasa ditampakkan guna mengusung sebuah misi suci yaitu hidup mulia atau mati syahid. Dalam sejarah perjalanan bangsa, Aceh menjadi kawasan dalam lingkungan besar Nusantara yang mampu memelihara identitas. Aceh juga memiliki sejarah kepribadian kolektifnya yang relatif jauh lebih tinggi, lebih kuat, serta paling sedikit "ter-Belanda-kan" daripada daerah-daerah lain. Dan itulah sebabnya, mengapa orang Belanda sekelas Van de Vier menyebutkan bahwa "orang Aceh dapat dibunuh, tetapi tak dapat ditaklukkan" (Aceh Orloog/Perang Aceh).

Kilas balik perlawanan orang Aceh dapat ditelusuri dalam buku-buku sejarah, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, maupun Perancis. Sejarah mencatat bahwa peperangan melawan kolonialisme dan imperialisme (1873-1942) telah memaksa Aceh melakukan perlawanan sengit. Bahkan mendongkrak semangat kaum wanitanya untuk tampil ke garda terdepan. Dengan perkasa membela kehormatan sekaligus menggencarkan penyerangan terhadap musuh yang datang pada saat bersamaan. Semangat juang tersebut lahir dari sebuah keyakinan bahwa semua itu pilihan perang sabilillah. Berperang demi kehormatan bangsa dan agama. Menampik setiap tawaran kompromi dan hanya mengenal pilihan membunuh atau dibunuh ketika berhadapan dengan para penjajah.

Sunday, January 10, 2010

Struktur Militer Angkatan Perang Aceh Darussalam

Balai Laksamana Amirul Harb

Menurut Qanun Meukuta Alam (Konstitusi Negara/Undang-undang Kerajaan Atjeh), di antara lembaga-lembaga negara tertinggi terdapat Balai Laksamana Amirul Harb (Departemen Pertahanan), dan pejabat tinggi yang memimpinnya bergelar Orangkaya Laksamana Wazirul Harb (Menteri Pertahanan) yang mengepalai Angkatan Darat dan Angkatan Laut.

Qanun selanjutnya menyebutkan gelar-gelar perwira pada Balai Laksamana, yaitu:

1. Seri Bentara Laksamana
2. Tandil Amirul Harb
3. Tandil Kawal Laksamana
4. Budjang Kawal Bentara Sijasah
5. Budjang Laksamana
6. Tandil Bentara Semasat
7. Budjang Bentara Sidik
8. Tandil Radja
9. Budjang Radja
10. Magat Seukawat
11. Budjang Akijana; dan
12. Tandil Gapounara Sijasah

Pembangunan Angkatan Perang

Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530 M), pembangun Kerajaan Atjeh Darussalam telah menetapkan empat dasar kebijakan negara, salah satu di antaranya yaitu, membangun Armada (Angkatan Laut) yang kuat.

Sultan Alaiddin Riayat Syah (1539-1572 M) yang lebih terkenal dengan Al Qahhar segera melanjutkan rencana Ali Mughayat Syah dengan membangun armada dan angkatan perang yang kuat, sekaligus menjalin kerjasama militer dengan negara Turkey Ottoman (Turki Usmani). Tenaga-tenaga ahli teknik untuk keperluan zeni didatangkan dari Turki, Arab dan India. Turki sendiri mengirim 300 tenaga ahli yang dimaksud.