Aceh, daerah yang memiliki sejarah panjang dalam perlawanan terhadap Belanda, hingga hari ini masih terus menerus di rundung berbagai bentuk kekerasan. Sejak awal kemerdekaan berbagai gerakan perlawanan baik sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat di Jakarta maupun sebagai wujud keinginan sejumlah elemen masyarakat untuk menjadikan Aceh “merdeka” terus-menerus muncul ke permukaan. Deklarasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di tahun 1976 telah memberikan alasan kepada pemerintah pusat untuk menjadikan daerah ini sebagai daerah operasi militer terutama sejak akhir 1980-an sampai dengan 1998 dengan sandi operasi militernya yang terkenal: Operasi Jaring Merah.
Secara umum ada dua cara untuk memahami berbagai persoalan yang muncul di Aceh. Pertama dengan cara melihat sejarah panjang tradisi perlawanan di daerah ini. Secara historis, Aceh pernah menjadi kerajaan Melayu-Muslim yang sangat kuat selama ratusan tahun.[1] Ketika Belanda datang diakhir abad ke-19 ia masih berstatus sebagai kesultanan yang independen. Dimasa colonial, daerah ini melakukan perlawanan paling panjang dengan berperang selama lebih kurang 70 tahun dari 1873 hingga 1942. Aceh kemudian berada dibawah kekuasaan Jepang hingga 1945 sebelum kemudian bergabung dengan Republik Indonesia di masa perang kemerdekaan (1945-1949). Soekarno, tokoh perjuangan kemerdekaan waktu itu berhasil meyakinkan Aceh bahwa dengan menjadi bagian dari Republik Indonesia Aceh akan mendapatkan perlindungan, kemakmuran, dan otonomi yang luas sebagai sebuah provinsi. Karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat, di akhir 1950-an hingga awal 1960-an Aceh melakukan gerakan perlawanan Darul Islam (DI) dibawah pimpinan Tengku Daud Beureueh. Pemberontakan ini dapat diakhiri setelah pemerintah setuju memberikan status istimewa kepada Aceh dengan kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri dalam hal agama dan pendidikan. Sayangnya, janji ini tak pernah ditepati.
Kedua, berbagai persoalan itu terkait dengan perubahan dramatis secara ekonomi, sosial, maupun politik selama tiga dekade terakhir atau lebih. Secara legal formal Aceh berstatus sebagai Daerah Istimewa dimasa Orde Baru. Namun secara praktikal status ini hanyalah nama, tidak ada perbedaan signifikan dengan propinsi yang “tidak istimewa”. Pembangunan ekonomi yang menjadi legitimasi utama Orde Baru telah menggeser status dan kewenangan para pemimpin tradisional religius disatu sisi, sedangkan disisi lain muncul kelas elit baru yang dikenal sebagai teknokrat. Elit baru ini lebih memiliki loyalitas kepada pemerintah pusat daripada elit-elit local. Lebih jauh lagi, pembangunan itu sendiri telah gagal mendatangkan keuntungan yang memadai bagi masyarakat Aceh.[2] Exploitasi gas alam Arun, Lhokseumawe, telah mendatangkan keuntungan luar biasa bagi pemerintah pusat. Sumbangan Aceh untuk APBN adalah sekitar 20 persen setiap tahun. Hanya sekitar satu persen dari sumbangan itu yang diinvestasikan kembali di Aceh, secara langsung maupun secara tidak langsung. Aceh adalah daerah yang kaya akan sumber-sumber ekonomi, namun secara ironis masyarakatnya tetap terbelakang dan miskin. Situasi ini antara lain yang membawa kepada populernya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagi saluran alternatif bagi masyarakat untuk menyampaikan kekecewaannya.
Kedua pendekatan ini mampu menjelaskan mengapa rakyat Aceh memberontak atau terus menerus melakukan perlawanan. Akan tetapi keduanya tidak cukup mampu menjelaskan mengapa kekerasan militer dan pelanggaran hak-hak asasi manusia terjadi secara massif di Aceh.
Keberadaan GAM dengan tuntutannya untuk memerdekakan Aceh, menjadi alasan utama pemerintah Orde Baru untuk menjadikan daerah ini tempat operasi militer. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa bukan hanya GAM dan anggota GAM yang menjadi target operasi militer. Militer Indonesia melakukan indiscriminate violence, menjadikan semua penduduk sebagai target, sehingga masyarakat Aceh terteror dan terus menerus berada dalam tekanan. Pelanggaran hak asasi manusia menjadi hal yang terdengar hampir setiap hari.[3] Menurut Robinson, selama sepuluh tahun masa DOM sekitar 2000 orang telah tewas dan lebih banyak lagi yang tidak sempat terhitung, termasuk yang ditahan, dianiaya, dan wanita-wanita yang diperkosa. Al Chaidar mencatat ada sekitar 3800 hingga 5000 orang yang terbunuh dan yang tidak terhitung jauh lebih banyak lagi. Sementara Ishak menyatakan bahwa sekitar tujuh ribu orang telah tewas selama masa 1989 hingga 1998. Sedangkan data dari Tapol, sebuah NGO internasional berbasis di London, dengan mengutip berbagai laporan dari human rights groups, adalah sebagai berikut: 3000 warga sipil terbunuh; 3862 hilang; 4663 mengalami penganiayaan; 186 diperkosa; 16 ribu anak kehilangan orang tua; dan 90 ribu lainnya menjadi pengungsi dan tidak lagi memiliki tempat tinggal. Sedikitnya 100 kuburan massal ditemukan, satu diantaranya menampung 200 mayat yang mengalami penganiayaan berat. Diantara penduduk yang masih bertahan di Aceh, ada sekitar 170 ribu orang yang mengalami trauma berat dan sekitar 6800 orang mengalami sakit mental atau jiwa.
Berbagai fakta tersebut menunjukkan betapa brutalnya militer Indonesia terhadap rakyatnya sendiri. Mengapa harus melakukan indiscriminate violence kalau hanya untuk menumpas pemberontak? Faktor apakah yang bisa menjelaskan perilaku kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia dikalangan militer Indonesia ini? Pertanyaan penting tersebut akan coba ditelusuri lewat tulisan ringkas ini. Pada dasarnya tulisan ini berpendapat bahwa kekerasan terhadap rakyat sipil dalam skala yang luas di Aceh di masa DOM terutama disebabkan oleh kebijakan dan praktek militer Indonesia. Perilaku kekerasan militer ini ada kaitannya dengan citra diri (self perception) militer. Sebagai pencerminan lebih jauh dari citra diri ini adalah persepsi militer terhadap sipil di Indonesia dan persepsi militer terhadap ancaman (threats). Persepsi ini akan ditelusuri dengan menganalisa secara ringkas doktrin dan sejarah tentara di Indonesia. Kebijakan-kebijakan militer yang antara lain mencerminkan citra dirinya di implementasikan oleh rejim yang sangat represif dimana militer berada dalam kontrol penguasa tunggal Orde Baru yakni Suharto.[4]
Militer di Aceh di Masa DOM
Operasi Jaring Merah adalah nama sandi resmi dari operasi militer tentara Indonesia di Aceh dari tahun 1989 sampai dengan 1998. Keberadaan operasi ini menjadikan Aceh kemudian dikenal dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM), sebuah nama yang tidak resmi dan bukan berasal dari pemerintah Indonesia namun menjadi sangat popular di kalangan masyarakat dan dunia internasional.
Gerakan separatis, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diakhir era 1980-an makin hari makin mendapatkan dukungan yang meluas. Dukungan itu tampak sangat jelas didaerah-daerah yang menjadi kantong-kantong GAM seperti Pidie di Aceh Utara dan Aceh Timur di masa pertengahan tahun 1990. Sejak diproklamasikannya GAM pada tahun 1976, sebetulnya pemerintah telah memberlakukan operasi territorial didaerah ini. Melalui serangkaian serangan militer oleh ABRI, GAM berhasil di tumpas diakhir 1970-an atau awal 1980-an.[5] Namun melalui serangkaian serangan terhadap pos-pos polisi dan tentara, gerakan ini tampak menguat kembali di tahun 1989. Peningkatan serangkaian serangan ini tampaknya terkait dengan strategi GAM yang menjadikan fase mulai tahun 1989 sebagai fase perlawanan bersenjata secara penuh setelah sebelumnya melalui fase penanaman kesadaran politik dan publikasi pers.[6] Setelah sejumlah kegagalan dalam serangan operasi teritoral di akhir 1980-an itu, ABRI melalui Komandan Komando Resort Militer (Korem) di Banda Aceh menurunkan lagi sejumlah enam ribu anggota pasukan sehingga jumlah keseluruhan tentara di lapangan saat itu menjadi duabelas ribu personil. Mulai saat itulah operasi militer dibawah DOM menjadi makin intensif diseluruh wilayah Aceh, terutama yang menjadi kantong-kantong GAM.
Bagaimanakah strategi militer dalam melancarkan operasi kekerasan agar benar-benar efektif mencapai sasaran guna penumpasan GAM? Menurut Geoffrey Robinson, strategi kekerasan militer ini dapat dibagi menjadi dua.[7] Pertama adalah institusionalisasi teror sebagai suatu upaya untuk menghadapi apa yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap keamanan nasional (national security). Cara ini meliputi berbagai metode seperti pemberlakuan jam malam, pencarian dari rumah ke rumah, penangkapan secara sembarangan, penganiayaan terus-menerus terhadap para tertuduh yang ditahan, pemerkosaan terhadap para perempuan yang dianggap memiliki kaitan dengan GAM, dan penembakan atau eksekusi di depan publik. Kedua, mobilisasi secara paksa dan sistematis para rakyat sipil. Tujuan dari hal ini adalah untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga asisten lapangan dan mata-mata dalam rangka operasi penumpasan pemberontakan (counter insurgency operations). Strategi mobilisasi rakyat sipil ini dilunakkan istilahnya menjadi menjadi “kerjasama sipil-militer”.
Salah satu bentuk strategi kedua ini yang sangat terkenal adalah operasi pagar betis. Dalam hal ini penduduk sipil dipaksa untuk menyapu daerah didepan pasukan ABRI dan berhadapan dengan musuh (orang yang diduga GAM) di front line. Dengan cara ini ABRI dapat memaksa penduduk untuk tidak terpencar-pencar ataupun berbalik dari daerah pertempuran. Dan para penduduk sipil ini tidak punya pilihan kecuali dua: menembak pemberontak atau ditembak tentara. Militer juga mempekerjakan unit-unit keamanan/kewaspadaan lokal dan ronda-ronda malam yang seolah-olah dibentuk oleh penduduk namun berada dibawah perintah ataupun pengawasan militer. Beberapa yang terkenal dari kelompok-kelompok ini adalah Unit Kesatria Penegak Pancasila, Bela Negara, Pemuda Keamanan Desa, dan Lasykar Rakyat. Sebelum bergerak, mereka ini mendapatkan training militer, lalu dipersenjatai dengan pisau, lembing, dan parang, kemudian diperintahkan untuk memburu para pemberontak atau para pendukung GAM. Bila masyarakat menolak atau gagal menunjukkan komitmen dalam membasmi musuh dengan cara mengidentifikasi, menangkap ataupun membunuh, biasanya akan berakhir dengan hukuman oleh militer termasuk penganiayaan didepan publik, penangkapan, dan penembakan. Strategi lain yang juga dipergunakan militer adalah merekrut penduduk lokal untuk menjadi mata-mata dan informan bagi militer. Istilah resmi untuk mereka ini adalah Tenaga Pembantu Operasi (TPO). Masyarakat Aceh menyebut hal ini sebagai cu’ak. Maknanya kira-kira sama dengan pengkhianat. Salah satu akibat dari hal ini adalah tersebarnya atmosfir ketakutan dan saling curiga antar penduduk serta kecenderungan penduduk untuk diam dan berbicara yang baik-baik saja didepan orang lain.
Dalam hal melakukan pembunuhan dan penganiayaan terhadap penduduk sipil Al Chaidar mencatat berbagai kasus yang tergolong sebagai “supersadistis”.[8]
Menurut Al Chaidar: Dari 680 kasus orang hilang dan tindak kekerasan plus pemerkosaan yang berhasil dihimpun Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP-HAM) setelah diklarifikasi terdapat sedikitnya 30 kasus yang berkualifikasi supersadistis. Sebagaimana aksi kebiadaban tentara sekuler dimanapun didunia ini—seperti yang dilakukan tentara Nazi pada Perang Dunia II, tentara Serbia terhadap etnis Bosnia dan Albania—dimana korban sipil biasanya ditelanjangi dan diperkosa secara bergiliran diantara tentara-tentara yang gagah lainnya hingga pada model penyiksaan dan penindasan dimana laki-laki sipil dilarang untuk bersikap religius dalam menghadapi kematinannya.[9]
Beberapa contoh yang dimaksud Al Chaidar dengan kasus-kasus yang supersadistis itu adalah: korban digorok lalu rumahnya dibakar; korban diikat, ditarik ramai-ramai, lalu ditembak; korban diganduli batu, lalu dibenam ke sungai; korban yang sudah ditembak dan dimakamkan oleh masyarakat, namun tentara memerintahkan dibongkar kembali untuk diambil fotonya untuk dijadikan contoh bagi masyarakat yang berani melawan; penculikan, yang sampai dengan 13 Juli 1998 telah terjadi 137 kasus; penduduk dijadikan tameng saat tentara bertempur melawan GPK; tangan dibedah, lalu ditetesi air cuka; kepala korban dikuliti didepan anaknya; korban ditembak didalam sumur; seorang suami diusir dari rumahnya, lalu istrinya disetrum; korban dipaksa bersanggama dengan tahanan wanita; dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.[10]
Seperti telah dikemukakan dalam bagian pengantar tulisan ini, penerapan DOM di Aceh selama lebih kurang sepuluh tahun telah menghasilkan statistik korban yang dapat menggambarkan betapa kekerasan yang terjadi begitu brutal. Belum lagi bila kita menghitung korban dalam pengertian non fisik dan non manusia seperti hancurnya sendi-sendi dan infrastruktur sosial dan budaya masyarakat Aceh. Dari perspektif hak-hak asasi manusia, apa yang dilakukan militer Indonesia terhadap rakyat Aceh telah memenuhi syarat-syarat untuk disebut sebagai kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity). Dalam Nuremberg Charter of 1945, pada pasal 6(c), kejahatan atas kemanusiaan di definisikan sebagai:
… pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran dan pengasingan, dan perilaku tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum ataupun selama perang berlangsung, atau penyiksaan atas dasar politik, ras,ataupun relijius dalam kaitannya dengan suatu bentuk kejahatan dalam yurisdiksi suatu pengadilan, tanpa memperhatikan apakah pelanggaran itu bertentangan dengan hukum negara pelaku atau tidak.[11]
Sedangkan dalam International Criminal Court (ICC) statute dinyatakan bahwa kejahatan atas kemanusiaan adalah satu atau lebih dari tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari penyerangan dan ancaman secara sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil, dengan kesadaran pengetahuan yang memadai atas penyerangan itu.[12]
Sejarah, Doktrin, dan Citra Diri Militer Indonesia
Doktrin adalah sesuatu yang sangat esensial dalam dunia militer atau tentara, “karena dari doktrinlah mengalirnya pengaturan posisi, fungsi, dan peran suatu tentara.”[13] Doktrin TNI, Dwifungsi, menurut Salim Said, bukan hanya menjelaskan posisi, fungsi, dan peran TNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi sekaligus juga menunjukkan citra diri TNI serta cara TNI melihat masyarakat sekelilingnya.[14] Namun doktrin bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan memiliki akar sejarah dan politik yang terkait dengan perjalanan suatu bangsa.
Doktrin Dwifungsi menyatakan bahwa ABRI atau TNI, sejak perang kemerdekaan di tahun 1940-an telah memainkan peranan yang sangat penting sebagai pelopor dan penjaga pembangunan bangsa (nation-building), dan oleh karena itu memiliki hak penuh untuk secara aktif terlibat dalam peran-peran sosial politik selain dibidang pertahanan dan keamanan. Tentara Indonesia memandang dirinya sebagai pengawal revolusi dan negara.[15] Dalam doktrin Tri Ubaya Cakti 1965, TNI digambarkan sebagai “anak revolusi”, tentara rakyat, tentara pejuang, dan kekuatan progresif revolusioner yang akan selalu membela dengan gigih hingga titik darah penghabisan: Sang Saka Merah Putih, bhineka tunggal ika, dan Pancasila, MANIPOL/USDEK, dan Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dengan ajaran-ajarannya.[16] Doktrin ini, karena dibuat masih dalam masa Soekarno tampak juga mengadopsi sejumlah slogan kiri yang memang biasanya sering digunakan oleh sang presiden. Versi doktrin Tri Ubaya Cakti ini menekankan bahwa TNI adalah kekuatan sosial politik yang sekaligus juga kekuatan militer. Dan sebagai bagian dari kekuatan progresif revolusioner ia merupakan alat revolusi, demokrasi, dan aparatur negara.
Setelah jatuhnya rejim Soekarno, tentara mendirikan Orde Baru. Keputusan untuk mendirikan Orde Baru ini diawali di seminar Angkatan Darat kedua pada bulan Agustus 1966 di Bandung. Keputusan tentara untuk mendirikan dan mendukung rejim Orde Baru didasarkan pada asumsi bahwa tentara memiliki hak untuk mengatur persoalan-persoalan non militer, suatu pandangan yang sebelumnya telah diinstitusionalisasi sebagai doktrin dwifungsi. Doktrin Tri Ubaya Cakti kemudian di modifikasi, slogan-slogan kirinya dibersihkan, dan posisi tentara dibidang politik makin dipertegas dan diperkuat. Tentara menampilkan dirinya sebagai pelopor perjuangan kebangsaan dengan menyatakan bahwa segenap harapan rakyat Indonesia telah digantungkan di pundak mereka dan karena itu tentara tidak punya pilihan lain selain daripada melaksanakan kepercayaan rakyat itu dengan jalan membangun pemerintah yang kuat dan stabil.[17]
Doktrin Tri Ubaya Cakti ini terdiri atas empat doktrin operasional. Pertama, Doktrin Pertahanan Darat Nasional yang mengatur penggunaan tentara diberbagai operasi militer dan menyatakan bahwa tugasnya adalah untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan revolusi Indonesia. Kedua, Doktrin Kekaryaan yang menyatakan bahwa tentara adalah kelompok fungsional yang akan selalu mengambil peran aktif didalam pembangunan kehidupan nasional serta melindungi kepentingan nasional. Ketiga, Doktrin Pembinaan yang menganalisa perkembangan masyarakat melalui kesiapan, ketahanan ideologi, agama, persoalan sosial dan kultural serta persoalan sosial militer. Dan keempat, Doktrin Perang Rakyat Semesta yang mengimplementasikan ketiga doktrin sebelumnya. Doktrin Tri Ubaya Cakti ini, pada bulan Nopember 1966 diubah menjadi Catur Darma Eka Karma (CADEK) dengan perubahan substansi yang tidak signifikan. CADEK inilah yang kemudian menjadi doktrin ABRI secara keseluruhan.
Pada tahun 1988 doktrin CADEK diperbaharui kembali. CADEK kembali menyatakan dwifungsi ABRI sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sosial politik. Dinyatakan juga bahwa hal ini didasarkan pada tujuan utama ABRI yakni mendukung perjuangan mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[18] Sebagai kekuatan sosial politik ABRI memandang dirinya sebagai kekuatan yang keperansertaannya menentukan tujuan, haluan, dan politik negara dan sebagai pelopor, dinamisator, serta stabilisator didalam setiap upaya mengisi kemerdekaan bangsa.[19]
Sementara itu, didalam dokumen Hakekat Kekaryaan ABRI dinyatakan bahwa ABRI adalah kelompok fungsional karena kontribusinya yang demikian besar dalam perjuangan kemerdekaan dan partisipasinya dalam membangun masa depan.[20] Sedangkan dalam dokumen Darma Pusaka 45 dinyatakan bahwa identitas TNI adalah memperjuangkan aspirasi rakyat. Hal ini berbeda dengan kepentingan dan cara kerja kelompok lainnya (baca: sipil) yang tidak mendukung kepentingan nasional secara keseluruhan.[21] Menurut ABRI, peran-perannya didalam menyelesaikan masa-masa kritis telah diakui oleh masyarakat. Segala konsep dan kebijakan ABRI selalu menguntungkan rakyat karena didesain bukan hanya untuk ABRI tapi untuk seluruh masyarakat.
Penampilan citra diri tentara seperti telah diuraikan diatas menunjukkan bahwa tentara meyakini dan menampilkan dirinya -karena sejarah, kemampuan dan komitmennya-sebagai elemen yang paling terpercaya dan selalu siap untuk menjaga dan membangun bangsa ini. Hal ini kemudian berpengaruh kepada bagaimana tentara memandang lingkungannya baik itu menyangkut masyarakat lainnya yakni sipil maupun dalam hal merumuskan dan memandang apa yang dimaksud dengan ancaman (threats).
Salim Said menyatakan bahwa salah satu hal yang paling konsisten dalam pemikiran TNI, selain kebencian kepada liberalisme, adalah sikap tidak percaya kepada sipil.[22] Menurut Salim, Panglima Besar Soedirman kurang percaya kepada politisi sipil baik yang di pemerintahan maupun yang di oposisi. Untuk itu beliau melibatkan diri dalam politik dengan tujuan menjaga otonomi tentara terhadap usaha “rebutan tentara” oleh para politisi. Nasution kecewa kepada kekuatan politik yang dianggapnya mencampuri urusan internal militer sementara urusan mereka untuk bekerjasama membentuk kabinet saja gagal. Jenderal Ali Moertopo menilai golongan sipil masih belum bersih dari elemen subversif sehingga belum pantas diberi kepercayaan mengelola negara.
Sementara itu Jendral Mas Isman menyatakan bahwa kegagalan demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin di tahun 1950-an dan awal 1960-an disebabkan oleh kegagalan mengintegrasikan kekuatan politik dan militer. Dan hal ini disebabkan oleh partai-partai politik yang memisah-misahkan pemimpin politik dan pemimpin tentara.[23] Hidajat Moekmin, mantan Sekretaris Panglima TNI (1966-1969) menyatakan bahwa upaya sekelompok sipil di era demokrasi liberal untuk mendegradasi tentara menjadi hanya sekedar alat negara merupakan suatu penghinaan bagi TNI.[24] Dokumen hakekat kekaryaan ABRI juga menyatakan bahwa politik yang telah membawa Indonesia kepada Perang Kemerdekaan I (21 Juli 1947), peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948, dan Perang Kemerdekaan II (19 Desember 1948) adalah kegagalan total para politisi pada masa itu. ABRI lah yang kemudian harus menanggung akibat dari kegagalan para politisi itu.[25] Pewarisan nilai-nilai 45, menurut tentara adalah juga hanya bisa dilakukan dengan baik oleh mereka sedangkan masyarakat tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk itu.[26] Lebih jauh Salim Said menyatakan: “… ketika generasi muda tentara tampil, merekapun tiba pada kesimpulan yang sama dengan para senior mereka, melihat sipil sebagai ‘masih kurang memiliki disiplin serta mengandung potensi yang dapat mengancam persatuan’.”[27]
Sinyalemen dari Salim Said ini terlihat memperoleh pembenarannya manakala kita mencermati pandangan ABRI, ketika memandang abad ke-21 pun masih menampakkan kecemasan dan ketidakpercayaan kepada masyarakat sipil. Dalam dokumen penjelasan mengenai Empat Paradigma Baru ABRI menyatakan sebagai berikut:
Namun melihat kondisi faktual masyarakat kini yang memberi kesan dapat mengendurkan wawasan kebangsaan, kurang memiliki disiplin serta mengandung potensi yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, kiranya masih banyak memberi peluang bagi sumbangan peran ABRI dalam kehidupan bernegara dan berbangsa agar transformasi masyarakat dapat dikendalikan dengan baik, dan masyarakat Indonesia diantar dengan selamat menuju terbentuknya masyarakat madani.[28]
Citra diri tentara yang memandang dirinya sebagi kelas yang lebih tinggi daripada masyarakat lainnya ini menjadikan tentara kemudian memandang sipil dalam dua kategori yakni sebagai junior partner atau sebagai sumber ancaman. Menurut tentara, ada tiga jenis ancaman yang bersumber dari dalam masyarakat.[29] Ketiga ancaman itu adalah: kelompok yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lainnya; kelompok tertentu yang memiliki interpretasi yang salah mengenai Pancasila; dan pengaruh ideologi lainnya dalam masyarakat yang akan membahayakan Pancasila dan stabilitas nasional. Secara politik terdapat tiga sumber ancaman dalam masyarakat yakni: elemen masyarakat yang mencoba untuk mengganti konstitusi demi kepentingan kelompoknya; elemen masyarakat yang menggunakan kekuatan politik untuk mencapai tujuannya yang membahayakan persatuan dan integrasi nasional; dan terdapatnya sejumlah masyarakat Indonesia yang belum memiliki pendidikan politik yang baik.
Dalam doktrin Wawasan Nusantara, tentara meletakkan kegiatan subversif sebagai ancaman utama terhadap keamanan nasional yang mungkin dapat meluas sebagai ancaman penetrasi ideologi asing.[30] Kegiatan subversif dapat berbentuk anti Pancasila dan anti UUD 1945. Sedangkan para pelaku kegiatan ini didefinisikan secara samar sehingga tentara dapat menginterpretasikannya sesuai dengan kebutuhan. Labelisasi berbagai kelompok masyarakat oleh tentara sebagai KGB (komunis gaya baru), OTB (organisasi tanpa bentuk), GPK (gerakan pengacau keamanan), ekstrim kanan, dan kelompok “liberal Barat” adalah contoh-contoh bagaimana tentara menghadapi masyarakat yang tidak bersesuaian dengan haluan militer. Dalam bentuk yang lebih kongkrit seperti ancaman separatis tentara melakukan kegiatan yang lebih kongkrit yakni penumpasan bersenjata.
Basis metodologi tentara menghadapi ancaman nasional adalah doktrin Hankamrata (pertahanan keamanan rakyat semesta). Doktrin ini memberi legitimasi kepada tentara untuk menggunakan masyarakat sipil sebagai komponen operasi militer. Dalam operasi penumpasan pemberontakan di Sumatera Tengah dan Sulawesi Utara pada tahun 1958 misalnya, tentara berkesimpulan bahwa operasi militer tidak akan sukses kalau tidak dengan dukungan masyarakat. Doktrin ini kemudian dirumuskan dalam Seminar Angkatan Darat tahun 1960 dan menjadi justifikasi keberadaan Komando Teritorial diseluruh wilayah Indonesia.
Dalam doktrin Kewaspadaan Nasional, mayarakat diwajibkan untuk selalu mewaspadai ancaman terhadap bangsa, utamanya yang berasal dari dalam negeri. Guna melaksanakan doktrin ini, sejak tahun 1978 tentara menyelenggarakan Penataran Kewaspadaan Nasional (Tarpadnas), yakni suatu program indoktrinasi yang pada intinya berupaya untuk memelihara justifikasi intervensi militer dibidang politik.[31] Semenjak tahun 1988, kata kewaspadaan menjadi kata standar untuk membenarkan semua operasi militer sebagai respon terhadap tantangan dan ancaman terhadap negara. Semenjak era 1990-an, kewaspadaan diperluas dengan memasukkan pengawasan militer terhadap aktivitas berbagai kelompok berikut.[32] Pertama, organisasi yang ragu-ragu dalam menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas di Indonesia. Kedua, generasi keempat dari komunis yang menggunakan gaya baru dalam taktik komunisnya melalui penggunaan metode-metode konstitusional dan jaringan intelektual dalam upayanya mendepolitisasi militer. Ketiga, kelompok ekstrimis yang menggunakan cara-cara ekstra konstitusional untuk mencapai tujuan politiknya melalui eksploitasi unsur-unsur kesukuan dan separatis. Keempat, kelompok yang menginginkan demokrasi liberal yang menyebarkan fahamnya melalui serangkaian forum dan diskusi akademik, seminar, dan media massa.
Citra Diri Militer dalam Praktek: Kekerasan Militer di Aceh
Dalam bahasannya mengenai kekerasan militer atas sipil selama hampir seratus tahun (1890-1988) di Kongo dan Zaire, Musambachime melakukan penelusurannya pada tiga hal.[33] Ketiganya adalah unsur citra diri tentara sebagai alat kekuasaan negara melalui instrument kekerasan, unsur impunity yang dimiliki tentara, dan kewenangan penuh (full authority) yang dimiliki tentara dalam melaksanakan tugas-tugas kekerasannya. Militer, dalam analisa Musambachime diletakkan dalam kerangka relasi sosial kekuasaan. Dengan mengutip Frantz Fanon ia menyatakan bahwa faktor penentu dalam relasi sosial kekuasaan adalah superioritas kekuatan fisik (physical force). Untuk memelihara tatanan sosial (sosial order) suatu actor atau organisasi politik membangung suatu kerangka territorial otoritas pemaksa atau kekerasan (coercive) melalui penggunaan kekuatan fisik.
Penggunaan kekerasan (violence) adalah instrument dari kekuasaan. Definisi kekuasaan oleh Max Weber bahwa “satu atau sejumlah aktor dalam suatu hubungan sosial akan selalu memaksakan keingingannya tanpa mempedulikan adanya resistensi” dapat membantu kita memahami proses represif dan manipulatif dari kekuasaan dan kondisi dimana kepatuhan diciptakan melalui serangkaian ancaman melalui penggunaan kekerasan.[34] Kekerasan sebagai instrumen dari kekuasaan dijalankan oleh militer—salah satu instrumen paling efisien dalam membangun pengaruh penguasa.
Militer di Kongo atau Zaire digelari sebagai “Bula Matare” (penghancur batu) oleh penduduk Afrika untuk menggambarkan betapa brutalnya administrasi dan perlakuannya terhadap penduduk di Kongo.[35] Pada mulanya militer ini adalah tentara penjajah Belgia, namun setelah kemerdekaan, perilaku brutal ini tetap dilanjutkan oleh tentara Kongo. Dalam menjaga tatanan sosial, memperkuat otoritas kekuasaan, dan melindungi kepentingan penguasa kolonial atau penguasa Kongo, militer melakukan intimidasi, pemaksaan terbuka, dan kekerasan.
Negara Kongo dibangun di atas fondasi kekerasan dengan hak untuk menggunakannya manakala penguasa memerlukannya. Hal ini memberikan basis bagi “impunity” militer yang menjalankan hak penggunaan kekerasan itu. Militer kemudian diindoktrinasi guna membangun citra diri mereka. Hasilnya seperti di sampaikan oleh Jenderal Molongya Mayikusa, Menteri Pertahanan Kongo pada tahun 1974 adalah; “the soldier considered himself an elite, while viewing civilians as nothing but ‘savages’ (tentara memandang dirinya sebagai kelompok elite dan pada saat yang sama memandang sipil hanyalah sebagai tidak beradab).[36] Impunity dan citra diri ini menjadi basis tentara untuk melakukan berbagai tindak kekerasan terhadap sipil. Dan tentara tidak perlu takut dengan segala tindakannya itu karena ia mendapatkan pembenaran dan otoritas penuh dari penguasa. Seorang perwira tentara Kongo ini menyatakan bahwa tentara “must have carte blanche or the native would not respect the state” (tentara harus memiliki otoritas penuh, kalau tidak penduduk tidak akan menghormati negara).[37]
Citra diri, sikap dan perilaku tentara Kongo yang melakukan kebrutalan terhadap penduduk sipil ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh militer Indonesia. Kalau di Kongo penguasa yang menggunakan tentara itu adalah colonial atau dictator yang bukan dari kalangan militer, di Indonesia tentara itulah yang menjadi penguasa negara. Menurut Robert Cribb, disamping sikap tentara yang memandang rendah sipil sebagai sumber kekerasan, tentara Indonesia juga memiliki sumber impunity yakni legitimasi perilaku kekerasan tentara pada tahun 1965 yang kemudian menjadi basis berdirinya negara Orde Baru.[38] Sebagaimana diketahui bahwa hasil dari ketegangan politik pada tahun 1965 adalah kemenangan tentara, dan sejak 1966 tentara adalah kekuatan yang unggul dan agung. Tentara harus dihormati dimana-mana dan seakan bebas melakukan apa saja. Salah satu contoh kecil adalah anekdot ataupun joke terhadap apa itu Orba yang di plesetkan menjadi “Ora Bayar” untuk menunjuk kepada perilaku tentara yang lebih sering tidak membayar bila, misalnya naik bus, ataupun sering mengambil apapun yang mereka inginkan dari pasar.[39]
Selain basis citra diri dan impunity, tentara Indonesia memiliki juga basis carte blanche yakni kewenangan penuh dan pembenaran penuh atas segala kebijakannya. Suharto, penguasa Orde Baru dengan jelas mengisyaratkan hal ini:
Apapun yang dilakukan oleh ABRI telah sesuai dengan aturan prosedur dan aturan main yang kita telah putuskan bersama. ABRI diwakili di MPR dan DPR, baik di pusat maupun di daerah berdasarkan aturan yang ada. ABRI menjadi pegawai negeri adalah berdasarkan kepatuhan dan kebutuhan. Anggota-anggota ABRI menjadi gubernur hingga kepala desa adalah juga berdasarkan kehendak rakyat. Apalagi, mereka itu menerima tugasnya atas dasar idealisme perjuangan, bukan karena keinginan memperoleh jabatan, bukan pula karena keinginan untuk menumpuk kekuasaan demi kepentingan ABRI.[40]
Posisi tentara Indonesia dengan citra diri, impunity, dan carte blanche nya itu ditingkatan praktek menuntut kepatuhan seluruh elemen sipil. Deference (perasaan hormat dan tunduk) dan timidity (rasa takut) adalah kelakuan yang benar yang harus ditunjukkan oleh sipil ketika berhadapan dengan kekuasaan militer.[41] Sementara tentara akan terus menerus menjaga dan membina rakyat, bangsa serta kesatuan bangsa melalui berbagai programnya, termasuk melalui jaringan komando territorial diseluruh Indonesia, maka ketidakpatuhan tertentu akan mendapatkan perlakuan khusus dari tentara. Perlakuan khusus itu, berdasarkan analisa tentara dapat bervariasi mulai dari pembinaan persuasif sampai dengan penumpasan lewat operasi militer. Dan hal ini didukung oleh training dan peralatan yang makin canggih yang dimiliki tentara dimana mereka memiliki kapasitas yang makin canggih pula untuk mendatangkan kerusakan yang lebih cepat dan lebih besar didalam masyarakat. Apa yang terjadi di Aceh dimata tentara adalah perilaku sipil dan elemen masyarakat lainnya yang telah menghina citra diri tentara dan dari segi tugas dan kewenangan tentara telah mendatangkan ancaman atas persatuan dan kesatuan bangsa—suatu hal yang sudah menjadi harga mati bagi tentara. Sebagai junior partner, seharusnya rakyat Aceh, dimata tentara harus mengikuti dan mematuhi apa yang telah digariskan—dengan jalan mengisi dan melaksanakan pembangunan dibawah bimbingan tentara. Yang terjadi adalah sebaliknya, alih-alih mengisi pembangunan negara, elemen-elemen rakyat Aceh malah mengancam posisi tentara dan persatuan serta kesatuan bangsa. Tentara datang ke Aceh dengan misi suci untuk mendidik masyarakat Aceh, tentu saja dengan cara tentara.
Secara lebih analitik, ada tiga hal yang dapat dijadikan alasan kuat tentara untuk melakukan perlakuan maksimal atas Aceh. Pertama adalah gerakan separatis, dalam hal ini GAM, adalah sesuatu yang tidak dapat ditolerir sedikitpun karena itu terkait langsung dengan ideologi tentara untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa disamping ia memberikan ancaman langsung atas keamanan dan stabilitas nasional. Kedua, Aceh adalah daerah yang dikenal kuat dengan ke-Islamannya. Islam dijaman Orde Baru, terutama apa yang dikenal sebagai Islam politik, dari segi doktrin TNI mengenai ancaman termasuk dalam kategori ektrim kanan sebagai pasangan dari ekstrim kiri. Kesadaran akan ancaman ini ditanamkan secara terus menerus dan baik oleh tentara melalui berbagai instrument pendidikan dan operasinya. Salah satu materi dalam kursus Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas)—salah satu lembaga elite tentara—adalah materi mengenai EKI (ekstrim kiri) dan EKA (ekstrim kanan).[42] Dari segi ini, potensi ekstrim kanan dalam gerakan masyarakat Aceh adalah besar. EKI dan EKA termasuk dua hal yang tidak ada toleransinya dalam kamus tentara. Ketiga, sejarah Aceh yang penuh dengan perlawanan termasuk pemberontakan dapat dipandang sebagai potensi untuk tidak mematuhi tentara. Dalam kerangka ini, masyarakat Aceh perlu mendapatkan pendidikan politik yang lebih intensif dimata tentara. Kalau mereka tidak mau dan tidak mampu menjadi junior partner yang baik maka tidak ada jalan lain kecuali ditumpas.
Konsekuensi dari kebijakan dan atau tindakan yang memperoleh pembenaran secara histories dan doctrinal-ideologis ini adalah tentara seakan-akan buta atau membutakan diri terhadap efek yang tidak produktif dari kekerasan yang mereka lakukan. Efek yang tidak produktif itu adalah berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia atas masyarakat Aceh. Dan harga dari pelanggaran itu demikian mahal, baik dari segi tentara maupun dari segi masyarakat Aceh dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Kesimpulan
Tulisan ini, tanpa menafikkan kemungkinan adanya factor individualitas baik dalam kepemimpinan maupun dalam penugasan dilapangan, telah berusaha menelusuri dan menjelaskan kekerasan atau kebrutalan yang dilakukan tentara atas masyarakat sipil di Aceh dari segi perspektif tentara mengenai dirinya, mengenai masyarakat, dan mengenai ancaman (threats). Mengikuti penjelasan dari Robert Cribb, tulisan ini menghubungkan perilaku tentara dengan doktrin dan persepsi mereka. Problem yang muncul di Aceh dimata tentara menunjukkan dua hal. Pertama, sebagai masyarakat mereka seharusnya mendudukkan tentara pada posisi yang dihormati dan dipatuhi. Mereka seharusnya menjadi junior partner yang baik yang akan dibimbing oleh tentara menuju kehidupan berbangsa yang lebih baik. Rakyat Aceh menunjukkan hal yang sebaliknya. Kedua, ancaman pemberontakan dan separatisme adalah harga mati bagi tentara. Tidak ada kata kompromi disini, karena ia menyangkut salah satu elemen dalam doktrin dan ideologi tentara. Disamping itu potensi ancaman terlihat lebih besar manakala tentara melihat bahwa Aceh adalah daerah yang bisa menjadi tempat subur bagi gerakan ekstrim kanan. Faktor sejarah perlawanan Aceh kemudian menjadi penguat bagi sinyalemen tentara tersebut. Oleh karena itulah tentara melakukan perlakuan maksimal terhadap rakyat Aceh, yang berdasarkan doktrin dan persepsi tentara, masih merupakan bagian dari tugas mereka untuk mendidik masyarakat Indonesia di Aceh. Konsekuensi dari hal tersebut kemudian adalah tindakan-tindakan yang brutal yang telah terkategori sebagai kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity).
Penulis, adalah Mantan Ketum PB PII, Mahasiswa di Ohio University dengan program Doktor Sosial dan Politik Otonomi Daerah
Catatan * Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pak Salim Said yang telah membolehkan manuskripnya yang berjudul “Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia: 1958-2000,” untuk dipergunakan sebagai salah satu sumber utama tulisan ini.
[1] Lihat Denys Lombart, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), terj. Oleh Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986).
[2] Michael Malley, “Region: Centralization and Resistance,” dalam Donald K. Emmerson, Indonesia Beyond Suharto, Polity, Economy, Society, Transition, (New York: M.E. Sharpe, 1999), hlm. 94.
[3] Gambaran mengenai pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh militer di Aceh selama DOM dapat ditemukan pada berbagai tulisan mengenai Aceh. Lihat misalnya Geoffrrey Robinson, “Rawan is as Rawan Does: The Origin of Disorder inNew Order Aceh”, in Ben Anderson, ed., Violence and the State in Suharto’s Indonesia, (Itacha, NY: Southeast Asia Publications, 2001) hlm. 214;
Al Chaidar (et.al.), Aceh Bersimbah Darah, Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998 (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998) hlm. 1-20; Otto Syamsuddin Ishak (et.al), Suara Dari Aceh (Jakarta: YAPPIKA, 2001) hlm. 26-35; Geoff Simon, Indonesia, The Long Oppression (London: Macmillan Press Ltd., 2000); Human Right Watch Report (htto://www.hrw.org/reports/2001/aceh/indaceh0801-02.htm); Bambang Widjajanto dan Douglas Kammen, The Structure of Military Abuse (http://www.insideindonesia.org/edit62/dom2.htm); Tapol Indonesia, Crisis in Aceh Threaten Indonesian Unity (http://tapol.gn.apc.org/r991128aceh.htm).
[4] Tentang kontrol Suharto atas militer ini antara lain dinyatakan oleh Salim Said dan Ulf Sundhaussen. Lihat Salim Said, Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini dan Kelak (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001); Salim Said, “Suharto’s Armed Forces, Building a Power Base in New Order Indonesia, 1966-1998,” Asian Survey Vol. XXXVIII, No. 6, June 1998; Ulf Sundhaussen, “Indonesia’s New Order: A Model for Myanmar?” Asian Survey Vol. 35 No. 8 (August 1995).
[5] Michael Malley, loc.cit.; Syarifudin Tippe, Aceh di Persimpangan Jalan, (Jakarta: Cidesindo, 2000), hlm. 34.
[6] Sri Mastuti, et.al., Menggeliat dan Bangkit (Jakarta: Pusat Studi dan Pengembangan Kawasan, 2000), hlm. 67.
[7] Geoffrey Robinson, Rawan is Rawan…, op.cit. Juga dapat dilihat di Laporan Amnesty International, 2 Agustus 1993, “’Shock Theraphy’ Restroing Order in Aceh, 1989-1993, http://acehnet.tripod.com/shock.htm
[8] Al Chaidar, Op.cit., hlm. 112-150.
[9] Ibid., hlm. 112.
[10] Ibid., hlm. 112-150.
[11] Darryl Robinson, “Defining Crimes against Humanity at the Rome Conference,” American Journal of International Law, Vol. 93, Issue 1 (Jan, 999).
[12] Ibid.
[13] Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia: 1958-2000, akan terbit, hlm. 4.
[14] Ibid.
[15] Ahmad Yani, dalam Ibid., hlm. 42.
[16] Ibid., hlm. 49.
[17] Seskoad, Doktrin Perjuangan TNI-AD “Tri Ubaya Cakti”, (Djakarta: Angkatan Darat, 1966), hlm. 18.
[18] Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Cadek 1988 (Jakarta: Markas Besar ABRI, 1988), hlm. 43.
[19] Ibid.
[20] Departemen Angkatan Darat, Hakekat Kekaryaan ABRI/TNI-AD Bukan Militerisme (Jakarta, 1967), hlm. 28.
[21] Departemen Pertahanan Keamanan, “Darma Pusaka 45, Hasil Seminar TNI AD Ke III”, Disahkan dengan Keputusan Men Hankam/Pangab Nomor: Skep/B/911/XI/1972, 10 Nopember 1972.
[22] Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya…op.cit., 149-151.
[23] Mas Isman, Peranan ABRI dalam Pembinaan Kehidupan Demokrasi dan Hubungannya dengan Kehidupan Kepartaian di Indonesia (Jakarta: Yayasan Mas Isman, 1992), hlm. 28-29.
[24] Hidajat Mukmin, PKI Versus Perang Wilayah, Penilaian Kembali Suatu Doktrin, hlm. 8-9.
[25] Departemen Angkatan Darat, Hakekat…op.cit., hlm. 10.
[26] Darma Pusaka 45, op.cit., hlm. 7.
[27] Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya…op.cit., p. 150.
[28] Ibid., hlm. 149.
[29] Naskah Sementara Buku Petunjuk ABRI Tentang Operasi Sosial Politik, Surat Keputusan Panglima ABRI No. Skep/759/VIII/1990, 15 Agustus 1990.
[30] Lihat Jun Honna, “Military Doctrine and Democratic Transition: A Comparative Perspective on Indonesia’s Dual Function and Latin American National Security Doctrines,” makalah yang diterbitkan oleh The Department of Political and Sosial Change, Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University, 1999, hlm. 11-12.
[31] Jun Honna, “Military Ideologi in Response to Democratic Pressure During the Late Suharto Era: Political and Institutional Contexts,” dalam Benedict Anderson (Ed.), Violence and the State in Suharto’s Indonesia (Itacha, New York: Southeast Asia Program Publication, 2001), hlm. 56.
[32] Ibid., hlm. 63.
[33] Mwelwa C. Musambachime, “Military Violence Against Civilians: The Case of Congolese and Zairean Military in the Pedicle 1890-1988,” The International Journal of African Historical Studies, Vol. 23, Issue 4 (1990), hlm. 643-664.
[34] Ibid., hlm. 643.
[35] Ibid., hlm. 645.
[36] Ibid., hlm. 648.
[37] Ibid., hlm. 650.
[38] Robert Cribb, “From Total People’s Defence to Massacre: Explaining Indonesian Military Violence in East Timor”, paper tanpa tahun.
[39] Ibid., hlm. 11.
[40] Dikutip dari Harold Maynard, “Indonesian Military Elite Role Perception”, dalam Amos Perlmutter and Valerie Plave Bennet (Eds.), The Political Influence of the Military. A Comparative Reader (New Haven and London: Yale University Press, 1980), hlm. 430.
[41] Robert Cribb, loc.cit.
[42] Wawancara dengan Salim Said, di Athens Ohio, 24 Mei 2002
Sumber Hidayatullah
No comments:
Post a Comment