Sunday, February 7, 2010

Sisi Lain Wanita Aceh; Madu Dan Pengkhianatan


Ungkapan dari pada crah bah keuh bukah, sudah berlaku dalam kehidupan masyarakat sejak zaman dahulu. Di zaman Kolonial Belanda menjajah Aceh. Seorang wanita rela membongkar tempat persembunyian suaminya, hanya karena suaminya sudah menikah lagi.

Seperti ditulis H C Zentgraaff dalam buku "Atjeh" . Seorang perempuan Aceh dengan penampilan mengesankan mendatangi komandan pasukan Belanda di bivak Samahani, yang kemudian berada di wilayah Aceh Besar. Dia meminta kepada kompeni untuk menyerbu suaminya, seorang gerombolan pejuang Aceh terkenal di kampung Ara Tunoeng, Mukim VII, Baet.

Wanita itu berjanji kepada Belanda akan menunjuk dimana tempat persembunyian suaminya. Hal itu dilakukannya karena menilai suaminya telah berlaku curang dan tidak setia padanya, dengan menikah dengan wanita lain.

Dibawah kawalan pasukan Belanda, wanita itu pun kemudian dibawa ke Indrapuri, untuk menjumpai Overste Van Heutsz. Di sana ia diterima oleh Boon, seorang letnan merangkap pejabat kontrolir. Ia pun dibawa ke kediaman Van Huetsz. Di sana telah berkumpul beberapa opsir tinggi Belanda. "Para opsir tinggi tercengang dengan keagungan wanita itu, yang sadar siapa dia sesunguhnya. Tanpa rasa takut dan rendah diri sedikitpun, pergi menghampiri Overte, dan memberi hormat dengan membungkuk badan sedikit," tulis Zentgraaff.


Melihat itu, salah seorang opsir tinggi, Mayor Oteen nyelutuk. "Alangkah cantiknya wanita ini." Sedangkan Letnan Sachse berkata "Chaque puoce une reine." Memuji kelangsingan wanita itu yang berjalan dengan kepala tegak, tanpa merasa risih dengan para perwira Belanda yang memperhatikannya. Ia tidak menghiraukan para opsir tinggi Belanda itu. Ia baru berbicara ketika Van Huetzs hadir dan Boon menjadi penerjemah dalam percakapannya.

Kepada Van Huetzs ia mengatakan ingin agar suaminya mati. Sebuah rencana penyerangan pun kemudian dirancang. Wanita itu diminta untuk kembali ke kampungnya. Lalu pada malam harinya, pasukan Belanda akan menyusul dalam kegelapan dan berjumpa dengan wanita itu di satu tempat yang sudah disepakati, untuk menunjuk jalan ke tempat suaminya bersembunyi bersama gerombolannya. Namur, pasukan Belanda itu tidak bertemu dengan wanita tersebut di tempat yang telah dijanjikan. Takut itu hanya sebuah jebakan, pasukan Belanda pun pulang.

Beberapa tahun kemudian, kejadian yang sama juga terjadi di Lameulo. Pasukan Belanda di daerah itu dipimpin oleh Boreel sebagai komandan. Boreel yang baru pulang dari patroli, karena letih langsung tidur. Sekitar jam setengah sebelas malam, salah seorang petugas pengawalnya membunyikan tanda, karena ada seorang wanita Aceh yang berdiri di depan bivak mereka.

Boreel kemudian bangun dan menyuruh wanita itu untuk mendekat sampai ke pintu gerbang. Kepada Boreel wanita itu mengaku sebagai istri salah seorang panglima sagoe di daerah itu. Ia mengaku mengetahui dimana suaminya berada. Ia akan menunjuk tempat persembunyian suaminya itu kepada Belanda, karena suaminya telah kawin lagi dan dia diabaikan.

Dia tahu malam itu suaminya sedang berbulan madu di rumah istri muda. Ia pun membawa pasukan Belanda ke rumah istri ke dua suaminya itu. Perjalanan dari bivak sampai ke rumah tersebut butuh waktu sampai empat jam. Takut itu hanya jebakan, wanita itu pun diikat agar tidak melarikan diri di malam buta.

Boreel sendiri ikut malam itu, karena suami yang dilaporkan wanita tersebut merupakan orang yang sudah lama dicari-cari, tapi selalu lolos dari sergapan. "Boreel memandang hal itu suatu kesempatan yang baik, sudah beberapa lama ia mencari Pang Anu dengan jungkir balik, walaupun demikian tidak boleh diabaikan. Jangan-jangan ini merupakan jebakan, karena itulah wanita itu harus memilih: pergi dengan segera atau menjadi penunjuk jalan bagi Marsose. Pinggang wanita itu diikat dengan tali yang ujungnya dipegang oleh pasukan, sementara tak jauh dibelakangnya seorang Marsose yang siap dengan kelewangnya berjalan di belakang wanita itu," tulis Zentgraaff.

Setelah melewati hutan dan semak belukar, pasukan Boreel tiba di rumah itu menjelang subuh. Rumah itu pun dikepung. Boreel kemudian memerintahkan orang yang ada di rumah itu untuk turun. Namun tak ada jawaban. Tiba-tiba, Pang Sagoe melompat dari pintu rumah panggung istri mudanya. Dengan sebilah pedang, ia menyerang marsose yang telah mengepungnya.

Namun ia tewas oleh pasukan marsose yang telah lama mengintai di sekeliling rumah. Pang Sagoe rebah dengan beberapa luka tembak di tubuhnya. Sebelum meninggal, ia masih sempat melihat istri pertamanya, yang membocorkan tempat persembunyianya itu kepada Belanda, datang menghampirinya. "Nyoe buet kee," kata wanita itu sambil menendang tubuh suaminya yang hampir mati.

Kejadian lainnya menurut Zentgraaff terjadi di Ulee Lheue. Seorang panglima di Desa Mugo telah berbuat serong. Maka istrinya pun berembuk dengan sanak famili perempuannya. Mereka sepakat untuk menghajar suaminya itu karena telah memberi aib kepada keluarga. Para wanita itu kemudian mendatangi panglima tersebut yang sedang istirahat di rumahnya. "Dengan marah wanita-wanita itu menerpa si panglima yang sia-sia memberikan perlawanan. Kaki tangannya dipegang erat, lalu istrinya mengambil pisau, lalu memotong (maaf), kemaluan sang suaminya secara terang-terangan, sampai panglima itu mati," tulis Zentgraaff.**

Iskandar Norman


Yahoo! Toolbar kini dilengkapi Anti-Virus dan Anti-Adware gratis. Download Yahoo! Toolbar sekarang .

No comments:

Post a Comment